"Selamat Datang Di Fahriikurniiawan.blogspot.com,,,Mari Berbagi Inspirasi dan Pengalaman"

Jumat, 07 Desember 2012

Hubungan Antara Aqidah-Tauhid, Syari’ah-Ibadah, Dan Akhlak-Tasawuf.



Makalah Akhlak Tasawuf
Hubungan Antara Aqidah-Tauhid, Syari’ah-Ibadah, Dan Akhlak-Tasawuf




Di susun Oleh
Citra Arini A, Nafiah Suciyati, Femi Apriasti, Komariah, Fahri Kurniawan

Prodi PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UIN SUNAN KALIJAGA Yogyakarta
2012


PENDAHULUAN

Tasawuf merupakan salah satu dari tiga tiang asas agama Islam. Ia merupakan dimensi kerohanian bagi agama ini. Dengannya Iman dan keyakinan menjadi lebih kuat, perlaksanaan terhadap tuntutan syariat menjadi lebih sempurna dan penghayatan nilai-nilai akhlak menjadi lebih berkesan. Tanpanya iman hilang kemanisannya, amal ibadah hilang khusyuknya dan akhlak hilang kemurniannya. Ia seumpama kawalan keselamatan dan perhiasan bagi sesebuah rumah yang menjadikannya lebih selamat dan bernilai tinggi. Sedangkan akhlak tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka ragam di dalamnya. Salah satunya adalah hubungan antara aqidah, ibadah dan syariah. Dalam kehidupan sehari-hari penting bagi kita untuk memahami dan mengerti hal tersebut.
Dalam aqidah dan ibadah istilah untuk menyatakan “kepercayaan” atau Keimanan yang teguh serta kuat dari seorang mukmin yang telah mengikatkan diri kepada Sang Pencipta. Makna dari keimanan kepada Allah adalah sesuatu yang berintikan tauhid, yaitu berupa suatu kepercayaan, pernyataan, sikap mengesankan Allah, dan mengesampingkan penyembahan selain kepada Allah.hal itu diberikan agar ibadah tidak dapat dilakukan dengan sekehendak hati kita karena semua ketentuan dan aturan telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta contoh dan tatacaranya telah diajarkan oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya. Agar ibadah yang dilakukan mendapatkan ridha Allah swt, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu: 1) Sah, artinya perbuatan ibadah harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam, dan 2) Ikhlas, yakni mengerjakannya semata-mata karena Allah swt. Sehingga dapat dilihat bahwa syari’ah mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek lahiriyah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengalaman iman batiniah
Tasawuf mempunyai hubungan yang sangat rapat dengan akidah di mana akidah itu adalah asasnya dan tasawuf itu berfungsi menjadikannya murni dan kukuh.  Demikian juga tasawuf dan ibadah adalah yaitu melaksanakan hakikat ubudiyah guna memperoleh tauhid yang haqqul yakin. Sedangkan tasawuf itu mempunyai hubungan yang sangat rapat dengan syariat di mana syariat itu adalah laluan untuk mencapai tasawuf dan tasawuf itu pula berfungsi memantapkan lagi perlaksanaan terhadap syariat. Syariat tidak boleh dipisahkan daripada tasawuf dan tidak ada pertentangan di antara kedua-duanya. 

A.    Pengertian Aqidah
Secara etimologis (lughatan), aqidah berasal dari kata ‘aqada-ya’qidu-‘aqdan-‘aqidatan. ‘Aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara kata aqdan dan aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
            Secara terminologis (istilah), terdapat beberapa definisi, antara lain
1.      Menurut Hasan al-Banna:
            Aqa’id (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati(mu), mendatangkan ketenteraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.
2.      Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
            Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.

Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
            Menurut Hasan al-Banna ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
1.      Ilahiyat
Pembahasan tentang segalah sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’a Allah dan lain-lain.
2.      Nubuwat
Pembehasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mu’jizat, karamat dan lain sebagainya.
3.      Ruhaniyat
Pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti malaikat, jin, iblis, syaitan, roh, dan lain sebagainya.
4.      Sam’iyyat
Pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’i (dalil naqli berupa Al-Qur’an dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga dan lain sebagainya.

Pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistematika arkanul iman, yaitu:
1.      Iman kepada Allah SWT
2.      Iman kepada malaikat (termasuk pembahasan tentang mahluk rohani lainnya seperti iblis, jin, dan syaitan)
3.      Iman kepada kitab-kitab Allah
4.      Iman kepada nabi dan rasul
5.      Iman kepada hari akhir
6.      Iman kepada takdir Allah

B.     Ibadah- Syari’ah
Ibadah secara etimologis berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan secara istilah, terdapat beberapa definisi yaitu sebagai berikut.
1.      Ibadah ialah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para rasul-Nya.
2.      Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah swt yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa kecintaan yang paling tinggi.
Namun, definisi ibadah yang paling lengkap adalah definisi yang disampaikan Ibnu Taimiyah yaitu ibadah mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah swt, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun tersembunyi.
Pembicaraan mengenai ibadah sangat penting karena ibadah merupakan tujuan diciptakannya manusia. Sebagaimana firman Allah swt dalam srat Adz-Dzariyat ayat 56,

Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.

Agar ibadah yang dilakukan mendapatkan ridha Allah swt, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu: 1) Sah, artinya perbuatan ibadah harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam, dan 2) Ikhlas, yakni mengerjakannya semata-mata karena Allah swt.
Berdasarkan  definisi yang disampaikan Ibnu Taimiyah, maka cakupan atau macam-macam ibadah sifatnya luas. Berikut adalah macam-macam ibadah.
1.      Dilihat dari segi umum dan khususnya.
a.       Ibadah Khoshoh, yaitu ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan dalam nash seperti sholat, puasa, zakat, dan haji.
b.      Ibadah ‘Ammah, yaitu semua perilaku yang baik, yang dilakukan semata-mata karena Allah seperti bekerja, belajar, makan, dan tidur.
2.      Ditinjau dari kepentingan perseorangan atau masyarakat.
a.       Ibadah wajib (fardhu) seperti sholat dan puasa.
b.      Ibadah ijtim’i seperti zakat dan haji.
3.      Dilihat dari cara pelaksanaannya.
a.       Ibadah jasmaniyah dan ruhiyah seperti sholat dan puasa.
b.      Ibadah ruhiyah dan amaliyah seperti zakat.
c.       Ibadah jasmaniyah, ruhiyah, dan amaliyah seperti haji.
4.      Ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya.
a.       Ibadah yang berupa pekerjaan tertentu dengan perkataan dan perbuatan.
b.      Ibadah yang berupa ucapan.
c.       Ibadah yang berupa perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya.
d.      Ibadah berupa menahan diri.
e.       Ibadah yang sifatnya menggugurkan hak.
Jadi, pengertian ibadah tidak terbatas pada ibadah mahdhoh atau rukun Islam saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan. Maka berbakti kepada orang tua, berbicara jujur, menunaikan amanah, menepati janji, silaturrahim, menuntut ilmu, berjihad, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, dan fakir miskin, serta melakukan perbaikan di muka bumi merupakan bentuk ibadah. Selain itu, rasa cinta kepada Allah, takut akan murka-Nya, bersabar atas takdir-Nya, bersyukur atas nikmat-Nya, dan lain sebagainya pun termasuk ibadah.

     Syari’ah
Syari’ah menurut etimologi, adalah jalan yang harus ditempuh. Menurut istilah, syari’ah adalah sistem norma (kaidah) Illahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, mengenai hubungan manusia dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Kaidah yang mengatur hubungan langsung manusia dengan Allah disebut kaidah ibadah atau kaidah ubudiah yang disebut juga kaidah ibadah murni, kaidah yang mengatur hubungan manusia selain dengan Allah disebut kaidah mu’amalah. Disiplin ilmu yang membahas dan menjelaskan syari’ah disebut ilmu fikih.

Cakupan Syari’at
Syariat Islam diturunkan kepada manusia memiliki tujuan yang sangat mulia, seperti :
Ø  Memelihara atau melindungi agama dan sekaligus memberikan hak kepada setiap orang untuk memilih antara beriman atau tidak, karena manusia diberi kebebasan mutlak untuk memilih. Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam” (QS. Al Baqaarah, 2:256), “…Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al Kahfi, 18:29).
Ø  Melindungi jiwa. Syariat Islam sangat melindungi keselamatan jiwa seseorang dengan menetapkan sanksi hukum yang sangat berat, contohnya hukum “qishash”. Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah, 2:179)
Ø  Perlindungan terhadap keturunan. Islam sangat melindungi keturunan di antaranya dengan menetapkan hukum dera seratus kali bagi pezina ghoiru muhshon (perjaka atau gadis) dan rajam (lempar batu) bagi pezina muhshon (suami/istri, duda/janda) (Al Hadits). Hal ini pun juga telah dijelaskan dengan seksama dalam AlQur’an Surat An Nuur ayat 2
Ø  Melindungi akal. Permasalahan perlindungan akal ini sangat menjadi perhatian Islam. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw menyatakan, “Agama adalah akal, siapa yang tiada berakal (menggunakan akal), maka tiadalah agama baginya”. Oleh karenanya, seseorang harus bisa dengan benar mempergunakan akalnya. Seseorang yang tidak bisa atau belum bisa menggunakan akalnya atau bahkan tidak berakal, maka yang bersangkutan bebas dari segala macam kewajiban-kewajiban dalam Islam. Misalnya dalam kondisi lupa, sedang tidur atau dalam kondisi terpaksa. Kesimpulannya, bahwa hukum Allah hanya berlaku bagi bagi orang yang berakal atau yang bisa menggunakan akalnya.
Ø  Melindungi harta, dengan membuat aturan yang jelas untuk bisa menjadi hak setiap orang agar terlindungi hartanya di antaranya dengan menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Juga peringatan keras sekaligus ancaman dari Allah SWT bagi mereka yang memakan harta milik orang lain dengan cara yang zalim. (Qs. Al Maa-idah, 5:38), (QS. An Nisaa, 4:10)..
Ø  Melindungi kehormatan seseorang. Termasuk melindungi nama baik seseorang dan lain sebagainya, sehingga setiap orang berhak dilindungi kehormatannya di mata orang lain dari upaya pihak-pihak lain melemparkan fitnah (QS. An Nuur, 24:4), (QS. An Nuur,24:23). Dan larangan keras pula untuk kita berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan dan menggunjing terhadap sesama mu’min (QS. Al Hujurat, 49:12).
Ø  Melindungi rasa aman seseorang. Pada kehidupan bermasyarakat, seseorang harus aman dari rasa lapar dan takut. Allah SWT berfirman: “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Al Quraisy, 106:4).
Ø  Melindugi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam menetapkan hukuman yang keras bagi mereka yang mencoba melakukan “kudeta” terhadap pemerintahan yang sah yang dipilih oleh ummat Islam “dengan cara yang Islami”.

C.    Akhlak tasawuf
Akhlak adalah manifestasi iman,ihsan,dan islam yang merupakan refleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada diri seseorang sehingga dapat melahirkan perilaku secra onsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan berdasar interes tertentu. Sifat dan jiwa yang melekat pada diri seseorang menjadi pribadi yang utuh dan menyatu dalam diri seseorang tersebut sehingga akhirnya tercermin melalui tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari bahkan menjadi adat kebiasaan. Sedangkan tasawuf adalah sarana memperbaiki akhlak manusia agar jiwanya menjadi sucu, sekaligus untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.
Hubungan akhlak tasawuf sangatlah erat dikarenakan untuk mencapai akhlak yang mulia diperlukan proses-proses yang biasanya dilakukan oleh kalngan mutashawwifin(pengamal tasawuf). Sementara bagian yang terpenting dalam tasawuf adalah pencapaian akhlak yang mulai disamping hal-hal yang terkait dengan kebutuhan. Akhlak tasawuf adalah proses-proses pencapaian akhlak karimah melalui metode tasawuf yang diilhami oleh kehidupan para salafus shalib.
Menurut Taftazani, pengamat dan peneliti tasawuf, dalam bukunya pengantar ke Tasawuf Islam, ada lima ciri tasawuf Islam:
a.       memiliki nilai – nilai moral.
b.      pemenuhan fana (sirna, lenyap) dalam realitas mutlak
c.       pengetahuan intuitif (berdasarkan bisikan hati) langsung.
d.      timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah dalam diri sufi karena tercapainya        maqamat (beberapa tingkatan perhentian) dalam perjalanan sufi mendekati Allah.
e.       penggunaan lambang – lambang pengungkapan (perasaan) yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.
           Terdapat Zahid dalam tasawuf,  yaitu mereka mengembangkan rasa takut kepada Tuhan dan azabnya, yaitu:
a.       Sikap zuhud, sikap tidak tertarik pada kesenangan duniawi.
b.      Sikap Wara, sikap yang hanya mau mengambil yang halal, pantang mengambil yang diragukan / haram.
c.       Sikap Qana’qh, sikap merasa cukup dengan rezki yang halal betapapun sedikitnya.
d.      Sikap ingat selalu pada-Nya
e.       Sikap kusyuk dan tekun beribadat (shalat, puasa, zikir) dan lain – lainnya.
Dengan demikian arti khas yang dapat menambah muatan kata tasawuf adalah mengolah sikap dan perasaan keragaman dalam mencapai kehidupan yang diridhoi.
Islam sebagai agama akhir yang tetap mutakhir, mempunyai sistem sendiri yang bagian – bagiannya saling berhubungan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan. Intinya adalah tauhid yang berkembang melalui akidah sebagai pegangan hidup, syari’ah sebagai jalan hidup dan akhlak-tasawuf sebagai sikap hidup yang mengarahkan perbuatan.

D.    Hubungan Antara Aqidah-Tauhid, Syari’ah-Ibadah, Dan Akhlak-Tasawuf.
Aqidah tauhid sebagai syarat diterimanya ibadah berarti walaupun metode dan tujuannya benar tetapi tidak dilandasi aqidah tauhid maka ibadahnya sia-sia. Tauhid berkaitan dengan soal batin (aqidah dan kepercayaan) sedangkan syariah bertautan dengan hukum perbuatan lahir (ahkam amaliyah) dan sangat erat dengan fiqih.
Ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mengajar tentang keesaan Allah s.w.t., Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam juga mengajar para sahabat r.a. agar tidak menyekutukan Allah s.w.t. dalam ibadah termasuklah melarang para sahabat r.a. daripada bersifat syirik khafi (tersembunyi) seperti riya’ dan sebagainya. Ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mengajar para sahabat r.a. tentang keluasan ilmu Allah s.w.t., Baginda shollallahu ‘alaihi wasallam juga mengajar adab kehambaan yang tinggi kepada para sahabat r.a., ia itulah sifat tawakkal dan qanaah (menerima dengan hati yang lapang terhadap segala ketentuan dan pemberian Allah) yang menjadi penghayatan terhadap sifat ilmu Allah s.w.t.. 
Maka, Tauhid yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam adalah suatu Tauhid Amali Syuhudi atau suatu Tauhid praktikal dan penghayatan, yang mana aqidah adalah suatu yang disemat dalam jiwa dalam bentuk penghayatan. Tauhid Amali ini adalah suatu tauhid yang murni yang lahir daripada suatu proses penyucian jiwa (Tazkiyyah An-Nufus) dan tarbiah kerohanian. Oleh sebab itulah, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam merupakan seorang murobbi agung kepada para sahabat r.a. yang menerapkan tauhid Amali ini dalam jiwa mereka melalui tarbiah kerohanian.
Kesibukan dan fokus terhadap ilmu Tauhid Nazhori (berbentuk teori) tidak menyebabkan ilmu Tauhid Amali Syuhudi ini terhenti perkembangannya dalam masyarakat Islam. ilmu Tauhid Nazhori (berbentuk teori) malah dikembangkan oleh para ulama’ sufi dalam bentuk Tarbiah Ruhiyyah Amaliyyah (tarbiah kerohanian praktikal) dan dikembangkan juga melalui penulisan-penulisan mereka dalam ilmu Tasawwuf. 
Bahkan, ketika ilmu Tauhid Nazhori sedang dikembangkan dalam bentuk ilmu Kalam oleh golongan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah, sebahagian para ulama’ sufi turut terlibat membahaskan ilmu Tauhid Nazhori ini juga bahkan kebanyakan mereka menjadikan asas-asas manhaj aqidah Al-Asya’irah atau Al-Maturidiyyah sebagai pendahuluan bagi perjalanan menuju Allah s.w.t. (perjalanan kerohanian) kerana tanpa asas aqidah yang jelas dan sahih, maka perjalanan kerohanian menuju Allah s.w.t. tidak membawa kepada natijah yang sahih kerana aqidah adalah asas bagi ibadah dan pengabdian. Bahkan, sebahagian para ulama’ Mutakallimin yang terlibat dalam membahasilmu Tauhid Nazhori (ilmu Kalam) turut menggalakkan pelajaran ilmu Tasawwuf dan tarbiah kerohanian sebagai penyempurnaan dan perealisasian terhadap ilmu Aqidah yang telah dipelajari.
Keselarasan ini tentu berkait dengan amaliah lahir yang disebut dengan ibadah. Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hub  (cinta), khauf (takut), raja (harapan). Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hambaNya yang mukmin:
Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya [Al-Maa-idah: 54]
Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah [Al-Baqarah: 165]. Selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yangkhusyu kepada Kami.´ [Al-Anbiya: 90]. Sebagian Salaf berkata “Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja, maka ia adalah mukmin muwahhid.”
            Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat :
[a].  Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
[b].  Ittiba, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syariatnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. Allah Subhanahu wa Taala berfirman.³ Artinya : (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnyakepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dantidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.´ [Al-Baqarah: 112] Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya. 
Ibadah di dalam syariat Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suciNya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela. Ibadah didalam Islam tidak disyariatkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyariatkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah. Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabiat adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah.
Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.  
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepadaNya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.
Termasuk keutamaan ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Ibadat. Diundur dari http://id.wikipedia.org tanggal 23 Nopember 2012
Khansa, Ummu. 2005. Ibadah: Pengertian, Macam, dan Keluasan Cakupannya. Diunduh dari http://belajar-tauhid.blogspot.com tanggal 29 Nopember 2012
Hamid, Syamsul R. 2010. Buku Pintar Agama Islam: Edisi yang Disempurnakan. Bogor: Cahaya Salam
Ilyas Yunahar, 1992, Kuliah Aqidah Islam, LPPI: Yogyakarta
Shaltut Mahmud, Akidah dan Syariah Islam, Jakarta:Bumi Aksara, 1984.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Terima kasih sangat membantu :')

rahayuimkary.blogspot.com mengatakan...

sangat bermamfaat...

Unknown mengatakan...

Hubungan Aqidah dengan tauhid?

Posting Komentar

 
© Copyright 2010 _Fahri kurniawan_
Theme by Fahri Kurniawan