"Selamat Datang Di Fahriikurniiawan.blogspot.com,,,Mari Berbagi Inspirasi dan Pengalaman"

Senin, 10 Juni 2013

ISLAMISASI DI TANAH JAWA

ISLAMISASI DI TANAH JAWA



Disusun oleh:
                                                      Nama              : Fahri Kurniawan
                                                      Nim                 : 10710036


PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

2013



BAB I
PENDAHULUAN

Sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, mayoritas masyasarakat jawa menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Selain menganut kepercayaan tersebut masyarakat Jawa juga dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Hindu dan Budha dari India. Seiring dengan waktu berjalan tidak lama kemuadian Islam masuk ke Jawa melewati Gujarat dan Persi dan ada yang berpendapat langsung dibawa oleh orang Arab. Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada enam yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M.
Situasi kehidupan “religius” masyarakat di Tanah Jawa sebelum datangnya Islam sangatlah heterogen. Kepercayaan import maupun kepercayaan yang asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hindu dan Budha, masyarakat Jawa prasejarah telah memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme. Pandangan hidup orang Jawa adalah mengarah pada pembentukan kesatuan numinous antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Di samping itu, mereka meyakini kekuatan magis keris, tombak, dan senjata lainnya. Benda-benda yang dianggap keramat dan memiliki kekuatan magis ini selanjutnya dipuja, dihormati, dan mendapat perlakuan istimewa.
Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama. Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat).
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan: Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada jaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu. Di pulau Jawa terdapat tiga buah kerajaan masa Hindu Budha, kerajaan-kerajaan itu adalah Taruma, Ho-Ling, dan Kanjuruhan. Di dalam perekonomian dan industri salah satu aktivitas masyarakat adalah bertani dan berdagang dalam proses integrasi bangsa. Dari aspek lain karya seni dan satra juga telah berkembang pesat antara lain seni musik, seni tari, wayang, lawak, dan tari topeng. Semua itu sebagian besar terdokumentasikan pada pahatan-pahatan relief dan candi-candi.
Era Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Setelah para Wali menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa, kepercayaan animisme dan dinamisme serta budaya Hindu-Budha sedikit demi sedikit berubah atau termasuki oleh nilai-nilai Islam. Hal ini membuat masyarakat kagum atas nilai-nilai Islam yang begitu besar manfa’atnya dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat mereka langsung bisa menerima ajaran Islam. Dari sini derajat orang-orang miskin mulai terangkat yang pada awalnya tertindas oleh para penguasa kerajaan. Islam sangat berkembang luas sampai ke pelosok desa setelah para Wali berhasil mendidik murid-muridnya. Salah satu generasi yang meneruskan perjuangan para Wali sampai Islam tersebar ke pelosok desa adalah Jaka Tingkir. Islam di Jawa yang paling menonjol setelah perjuangan para Wali songo adalah perpaduan adat Jawa dengan nilai-nilai Islam, salah satu diantaranya adalah tradisi Wayang Kulit.
Wali Songo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa peranan Wali Songo sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa. Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Selanjutnya, dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa, Wali Songa telah menggunakan beberapa strategi dan metode dakwah. Di antaranya adalah dengan memobilisasi semua alat ta’tsir psikologis yang berupa sensasi, conciliare, sugesti, hipnotis sampai de cere. Karena sensasi inilah, masyarakat awam dipaksa secara halus untuk menaruh perhatian kepada para Wali dan mengesampingkan yang lainnya. Karena conciliare, publik akhirnya mengganggap penting apa saja yang datang dari para Wali. Karena sugesti, rakyat didorong berbuat sesuatu sehingga bergerak tanpa banyak tanya. Karena hipnotis, rakyat terpukau akan segala sesuatu yang bermerk para Wall tanpa banyak selidik dan kritik. Selanjutnya karma de cere,-para Wali dapat mengendalikan dan mengarahkan awam sebagai obyek dakwahnya ke mana raja yang mereka kehendaki. Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi).

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Islam Masuk Pulau Jawa
Di Pulau Jawa, Sebelum kedatangan Islam Masyarakat diceritakan masih di pengaruhi oleh kasta. Ya itu sistem yang mengelompakkan golongan kelas. kasta tersebut di bagi 4 golongan.antara lain Brahmana Ksatria Watsya Sudra. Kemudian pada abad XI Masehi, beberapa ahli sejarah menuturkan. Agama Islam masuk kepulau jawa yang di bawa oleh pedagang dari arab dan mulai disebarkan mubaligh dari Pasai atau Aceh Utara. Ada beberapa ahli sejarah yang menyebutkan, Bahwa Agama Islam pertama kali masuk ke Indonesia adalah di pulau jawa. disitu disebutkan, pada tahun 929-949 M, ditenggarai masa kekuasaan Prabu Sindok para saudagar dari pulau jawa sudah pada berlayar ke baghdad (bagdad).
Demikian juga para pedagang dari persia dan gujarat sudah pada berdatangan ke Indonesia Dalil di atas mengemukan setelah beberapa tokoh ahli sejarah, karena ditemukan satu batu nisan seorang wanita Islam yang bernama Fatimah Binti Maimun di desa Leran Gresik Jawa Timur yang bertulis wafat pada tahun 475 H .Atau 1082 M+ Syaikh Abdullah Arif dan Syaikh Burhanudin Al-Kamil yang wafat dikunta pada tahun 610 atau 12 14 M+ di sebut sebut yang membawa islam masuk Indonesia melalui sumatera (perhatikan tanda+) yang pertama dilabuhi Islam di jawa adalah pesisir jawa timur. Dan Islam mulai berkembang setelah kehadiran Maulana Malik Ibrahim di Gresik jawa timur, yang kemudian disebut sebut menjadi pusat penyebaran agama Islam di jawa timur. Yang dikemudian hari lahir nama Wali Songo.
Era Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Setelah para Wali menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa, kepercayaan animisme dan dinamisme serta budaya Hindu-Budha sedikit demi sedikit berubah atau termasuki oleh nilai-nilai Islam. Hal ini membuat masyarakat kagum atas nilai-nilai Islam yang begitu besar manfa’atnya dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat mereka langsung bisa menerima ajaran Islam. Dari sini derajat orang-orang miskin mulai terangkat yang pada awalnya tertindas oleh para penguasa kerajaan. Islam sangat berkembang luas sampai ke pelosok desa setelah para Wali berhasil mendidik murid-muridnya. Salah satu generasi yang meneruskan perjuangan para Wali sampai Islam tersebar ke pelosok desa adalah Jaka Tingkir. Islam di Jawa yang paling menonjol setelah perjuangan para Wali songo adalah perpaduan adat Jawa dengan nilai-nilai Islam, salah satu diantaranya adalah tradisi Wayang Kulit.

B.       Bukti-bukti Islam di Jawa
Bukti-bukti bahwa islam telah ada di Jawa itu bisa dibuktikan salah satunya dengan ditemukannya makam, masjid, ragam hias dan tata kota.
1.  Makam
Bukti sejarah yang paling faktual barangkali adalah ditemukannya batu nisan kubur Fatimah binti Maemun di Leran Gresik yang berangka tahun 475 H (1082 M). Pada makam nisan itu tercantum prasasti berhuruf dan berbahasa Arab yang menyatakan bahwa makam itu adalah makam Fatimah binti Maemun bin Hibatallah yang meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H.
2.  Masjid
Sumber sejarah arkeolog juga banyak ditemukan di Jawa yaitu berdirinya Masjid di suatu wilayah yang membuktikan bahwa adanya komuitas muslim di wilayah tersebut.
3.  Ragam hias
Dengan diterimanya ajaran islam di Jawa maka lahirlah beberapa ragam hias baru, yaitu kaigrafi dan stiliran. Tetapi tulisan arab dijawa pada saat itu tidak mengalir luwes buktinya Prasasti berhuruf arab yang tertera dimakam Fatimah binti Maemun yang jauh lebih tua justru menampakan segi keindahan.

C.      Islamisasi Di Tanah Jawa
1.    Dakwah Wali Songo
Dalam menyiarkan Islam, Wali Songo tidak hanya akrab dengan masyarakat umum, tetapi juga dengan penguasa kerajaan. Ketika menyiarkan Islam, mereka menggunakan berbagai bentuk kesenian tradisional masyarakat setempat. Mereka menyisipkan nilai-nilai Islam ke dalam kesenian tersebut. Karena itu, upaya mereka terasa tidak asing dan sangat komunikatif bagi masyarakat setempat. Usaha ini membuahkan hasil, tidak hanya mengembangkan agama Islam, tetapi juga memperkaya kandungan budaya Islam.
a)    Syiekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Beliau juga dikenal dengan sebutan syiekh Magribi, karena ia diduga berasal dari wilayah Magribi (afrika Utara). Namun, hingga saat ini tidak diketahui secara pasti sejarah tentang tempat dan tahun kelahirannya. Ia diperkirakan lahir sekitar pertengahan abad ke-14. Ia berasal dari keluarga muslim yang taat, dan belajar agama sejak kecil. Meskipun demikian, tidak diketahui siapa gurunya hingga ia kemudian mejadi seorang ulama. Sunan Gresik merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia berdakwah secara intensif dan bijaksana. Sunan Gresik bukanlah orang Jawa, tetapi ia mampu beradaftasi dengan masyarakat setempat. Upayanya untuk menghilangkan sisitem kasta pada masyarakat pada masa itu merupakan dakwahnya. Namun sumber lain mengatakan bahwa jauh sebelum Sunan Gresik datang ke Pulau Jawa, sudah ada masyarakat Islam di daerah Jepara dan Leran. Cita-cita dan perjuangannya menyebarkan Islam di Jawa dilanjutkan oleh anaknya, Sunan Ampel

b)   Sunan Ampel
Ia memulai dakwahnya dari sebuah pesantren yang didirikan di Ampal Denta (dekat Surabaya). Oleh karena itu, ia dikenal sebagai pemimbina pondok pesantren pertama di jawa Timur. Sunan Ampel merupakan putera dari Sunan Gresik yang meneruskan perjuangan Sunan Gresik menyiarkan Islam di tanah Jawa. Ia dikenal dengan Wali yang tidak setuju terhadap adat-istiadat masyarakat Jawa pada masa itu. Misalnya, kebiasaan mengadakan sesaji dan selamatan. Namun para wali lain berpendapat bahwa hal itu tidak dapat dihilangkan dengan segera. Mereka mengusulkan agar adat-istiadat semacam itu lebih baik diberi warna islami. Akhirnya, Sunan Ampel setuju walaupun ia tetap khawatir kalau hal itu akan berkembang menjadi Bid’ah.
Ajaran Sunan Ampel yang terkenal adalah “Falsafah Moh Limo” atau “tidak Mau Melakukan Lima Hal”.
1.    Moh Main atau Tidak mau berjudi.
2.    Moh Ngombe atau Tidak minum-minuman keras (mabuk-mabukan)
3.    Moh Maling atau Tidak mencuri.
4.    Moh Madat atau tidak mau menghisap candu, ganja, dan lain-lain.
5.    Moh Madon atau Tidak berzina.
c)      Sunan Giri
Nama aslinya adalah Raden Paku. Ia merupakan putra dari Maulan Ishak. Ia sempat diadopsi oleh Nyai Ageng Pinatih ketika masih bayi dan sempat diberi nama joko Samudro; karena Raden Paku ditemukan di tengah Selat Bali. Sunan Giri sempat mondok di Pesantren Ampel Denta milik Sunan Ampel sebelum memperdalam ilmu di Pasai, tempat Maulana Ishak menyiarkan Islam. Sekembalinya ke tanah Jawa, Sunan Giri mendirikan pesantren di daerah Giri. Ia juga banyak mengirim juru dakwah ke Bawean, bahkan juga ke Lombok, Ternate dan Tidore di Maluku.
d)     Sunan Bonang
Cara penyebarannya ialah menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang menggemari Wayang dan Musik Gamelan. Untuk itu, menciptakan gendang-gending yang memiliki corak keislaman. Sunan Bonang yang bernama asli Syiekh Maulana Makdum Ibrahim ini pernah belajar agama di Pesantren Ampel Denta dan di Pasai bersam Sunan Giri. Sekembalinya dari Pasai, ia memutuskan untuk memusatkan kegiatan dakwahnya di Tuban dengan mendirikan Pesantren. Ia wafat di Tuban pada tahun 1525.
e)      Sunan Kalijaga
Ia dikenal sebagai budayawan dan seniman. Nama aslinya adalah Raden Said putra Adipati Tuban yaitu Temenggung Wilatikto. Ia menciptakan anaka cerita wayang yang bernafaskan islami. Ia juga menciptakan wayang kulit dan wayang beber. Dan ia juga pencipta dari lagu daerah Jawa yang berjudul Lir-Ilir.
Sebelum mempelajari agama islam lebih dalam, ia adalah seorang perampok. Namun yang ia rampok bukanlah rakyat jelata, melainkan para penarik pajak yang meminta pajak dengan kekerasan dan sangat mencekik kehidupan masyarakat setempat. Ia pun sempat diusir dari Tuban, dan pergi ke hutan Jatiwangi. Di sana ia dikenal dengan sebutan Brandal Lokajaya.
Ia mendapat gelar sunan Kalijaga karena ia sempat disuruh menjaga sungai (bertapa) selama tiga tahun. Ia adalah murid dari Sunan Bonang. Ia juga menciptakan berbagai macam alat musik seperti Gamelan dan Bedug untuk media dakwahnya.
f)       Sunan Kudus
Ia adalah putra dari Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Untuk melancarkan penyebaran islam, Sunan Kudus membangun sebuah masjid di daerah Loran pada tahun 1549 M. Masjid itu diberi nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar. Wilayah di sekitarnya disebut Kudus, merupakan nama yang diambil dari dari nama Kota al-Quds (Yarusalem) di Palestina, yang pernah ia kunjungi. Masjid itu kemudian dikenal dengan nama Masjid Menara Kudus karena di sampingnya terdapat menara tempat duduk masjid.
Sunan Kudus atau Ja’far sadiq digelari wali al-‘ilmi (orang berilmu luas) oleh para wali songo karena memiliki keahlian khusus dalam bidang agama. Karena keahlian nya itu, ia banyak didatangi para penuntut ilmu dari berbagai wilayah. Ia juga dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus. Karenanya, ia menjadi pemimpin agama sekaligus menjadi pemimpin daerah. Ia berdakwah menggunakan strategi pendekatan pada masyarakat setempat. Ia membiarkan duklu adat-istiadat dan kepercayaan masyarakat setempat yang sulit dirubah, namun bagian adat yang tidak sesuai islam tetapi mudah dirubah maka segea dihilangkan. Ia menghindari konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan islam. Strategi dakwah ini juga diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.
g)      Sunan Drajad
Nama aslinya adalah Raden Qosim. Ia merupakan putra dari Sunan Ampel dan Dewi Condrowati. Dalam catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut dengan seorang wali yang hidupnya paling bersahaja, walaupun dalam urusan dunia ia juga sangat rajin mencari rezki. Adapun ajaran Sunan Drajad yang terkenal adalah
Menehono teken marang wong kang wuto.
Menehono mangan marang wong kang luwe.
Menehono busono marang kang mudo.
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan.
Terjemahannya sebagai berikut:
Berikanlah tongkat pada orang buta.
Berikanlah makanan pada orang yang lapar.
Berikanlah pakaian pada orang yang telanjang.
Berikanlah tempat berteduh pada orang yang kehujanan.
Ia berdakwah di daerah Drajad dan meninggal di daerah itu juga. Makamnya berada di desa Drajad, kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.
h)      Sunan Muria
Nama aslinya adalah Raden Umar Syaid. Ia adalah putera sunan Kalijaga dan Dewi Saroh. Ia dikenal sebagai seorang anggota Wali Songo yang mempertahankan kesenian Gamelan sebagai media dakwah yang ampuh untuk merangkul masyarakat Jawa. Selain dengan kesenian, ia juga berdakwah dengan cara memadukan adat setempat dengan warna islami. Adapun adat setempat yang dipadukan dengan warna islami adalah sebagai berikut: Selamatan ngesur tanah (kenduren setelah ngubur nayat) Nelung dinani (kenduren setelah 3 hari mengubur mayat) Mitung dinani (kenduren setelah 7 hari ngubur mayat) Matang puluh, nyatus dino, Mendhak pisan, mendhak pindo, dan nyewu.
i)        Sunan Gunung Jati
Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Pada usia 20 tahun dia berguru pada Syiekh di daratan Timur Tengah. Aetelah selesai menuntut ilmu, pada tahun 1470 dia berangkat ke tanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Istrinya yang pertama adalah Nyai Babadan, wanita itu dinikahi pada tahun 1471. Dia adalah putri dari Ki Gedeng Babadan.
Perkawinannya dengan Nyai Babadan ini tidak dikaruniai seorang anak pun, lalu pada tahun 1475, ia kawin lagi dengan Nyai Kawungten, adik dari Bupati Banten.
Ia sempat menikah dengan Syarifah Baghdad, yang merupakan adik dari Syiekh Abdurrahman. Namun dari sekian banyak istrinya, Sunan Gunung Jati pernah menikah dengan putri cantik dari daratan Cina, Ong Tien. Sekitar tahun 1479, ia pergi ke Cina. Di sana ia membuka pengobatan sambil berdakwah. Ia mendapat gelar Maulana Insanul Kamil.
2.    Model Pembelajaran Wali Songo
Secara umum Wali Songo menyiarkan Islam dengan memadukan budaya setempat sebagai media dakwah. Mereka membiarkan budaya dan kepercayaan masyarakat setempat yang sulit dirubah. Namun bagian adat yang mudah dirubah, maka dengan segera mereka menghilangkannya. Mereka melakukannya karena menghindari konfrontasi dengan masyarakat secara langsung. Dan tentunya mereka melakukan hal itu agar mudah berkomunikasi dengan masyarakat, dengan cara itu masyarakat bisa dengan mudah menerima mereka dan mengamalkan apa yang diajarkan.
Anggota Wali Songo yang memakai cara  pendekatan itu adalah Sunan Kali Jaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Sunan Kali Jaga malah membiarkan masyarakat membakar kemenyan, dan ia juga sempat menciptakan alat musik berupa Gamelan.
Memang pada dasarnya hal ini termasuk Bid’ah, namun jika tidak dengan cara ini masyarakat sangat sulit untuk didekati.

3.    Kemjuan Islam Periode wali Songo
Selama menyiarkan agama Islam, Wali Songo banyak mengalami hambatan. Ada fitnah, dan budaya setempat yang sulit dirubah. Namun dengan kesabaran dan tekat yang kuat, akhirnya sebagian masyarakat Jawa masuk Islam meskipun tidak sedikit yang melakukan bid’ah. Hal itu bagi Wali Songo bukanlah masalah besar. Dan mereka meyakini suatu saat nanti akan ada orang yang dapat menghilangkan budaya masyarakat setempat yang tertmasuk bid’ah.
Permasalahan yang cukup terkenal sampai saat ini mengenai wali Songo adalah perkara Syiekh siti Jenar. Ia adalah seorang ahli agama dari Persia. Ia mengaku dirinya adalah Allah. Para wali sangat menentangnya, dan memutuskan hukuman mati bagi syiekh siti Jenar. Meskipun Syiekh Siti Jenar mati, namun ajarannya tetap menyebar. Bahkan ia sempat mempunyai banyak murid. Sebelum Syiekh Siti Jenar dihukum mati, ia sempat mengeluarkan ancaman kepada para Wali. Dan ancaman itu pun benar terjadi, di Mataram 6000 ulama Sunni dibantai oleh Sunan Amangkurat I.
Pertentangan antara faham Manunggaling Kawula Gusti memang terus berlangsung. Para pendukung siti Jenar tetap berusaha mendiskreditkan para Wali, bahkan hingga zaman modern ini.Namun di balik itu semua, usaha Wali Songo dalam menyiarkan agama Islam membuahkan hasil yang luar biasa, hingga dapat kita rasakan sampai saat ini.
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia memengaruhi kebudayaan Islam bangsa Indonesia. Akulturasi dengan budaya sebelumnya membuat budaya islam makin diminati masyarakat. Dan salah satu dampak yang muncul adalah berdirinya kerajaan-kerajaan yang bercorak islam, antara lain Kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak, Pajang, Mataram Islam, Cirebon, Banten, Makasar, Ternate, dan Tidore.

D.      Metode Dakwah Wali Songo
Dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Walisongo adalah perintis awal dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dipelopori Syeikh Maulana Malik Ibrahim. Walisongo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam yang berhasil merekrut murid-murid untuk menjalankan dakwah Islam ke seluruh Nusantara sejak abad ke-15. Walisongo terdiri dari sembilan wali; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga.
Metode yang digunakan oleh Walisongo dalam berdakwah ada tiga macam, yaitu:
1.      Al-Hikmah (kebijaksanaan) : Al-Hikmah merupakan kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u (objek dakwah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Gudus.
2.      Al-Mau’izha Al-Hasanah (nasihat yang baik) : memberi nasihat dengan kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluh hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman. Inilah yang dilakukan oleh para wali.
3.      Al-Mujadalah Billati Hiya Ahsan (berbantah-bantah dengan jalan sebaik-baiknya) : tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut. sebagaimana dakwah Sunan Ampel kepada Adipati Aria Damar dan Sunan Kalijaga kepada Adipati Pandanarang.

E.       Keberhasilan Islamisasi di tanah Jawa
Wali Songo juga memakai strategi tarbiyyah al-’ummah, terutama sebagai upaya pembentukan dan penanaman kader, serta strategi penyebaran juru dakwah ke berbagai daerah. Sunan Kalijaga misalnya, mengkader Kiai Gede Adipati Pandanarang (Sunan Tembayat) dan mendidik Ki Cakrajaya dari Purworejo, kemudian mengirimnya ke Lowanu untuk mengislamkan masyarakat di sana. Sunan Ampel mengkader Raden Patah kemudian menyuruhnya berhijrah ke hutan Bintara, membuat perkampungan dan kota baru dan mengimami masyarakat yang baru terbentuk itu. untuk penyebaran juru dakwah dan pembagian wilayah kerja Wali Sanga, digambarkan oleh Mansur Suryanegara, mempunyai dasar pertimbangan geostrategis yang mapan sekali. Pembagian itu memakai rasio 5 : 3: 1.
Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para Wali. Di sini ditempatkan 5 Wall dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Wali perintis, mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah wafat, wilayah ini diambil alih oleh Sunan Girl. Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke utara di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. Berkumpulnya kelima Wali di Jawa Timur adalah karna kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri di Kediri dan Majapahit di Mojokerto.
Di Jawa Tengah, para Wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan Muria. Sasaran dakwah para Wali di Jawa Tengah tentu berbeda dengan yang di Jawa Timur. Di Jawa Tengah, dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan Hindu dan Budha sudah tidak berperan, tetapi realitas masyarakatnya masih banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha. Sehingga dalam berdakwah, Wali Sanga di Jawa Tengah ini banyak menggunakan instrumen budaya lokal, seperti wayang, gong gamelan dan lain-lain, untuk dimodifikasi sesuai dengan ajaran Islam. Saat berlangsung aktivitas ketiga Wali tersebut, pusat kekuasaan politik dan ekonomi beralih ke Jawa Tengah, ditandai dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit dan munculnya Kerajaan Demak, yang disusul kemudian dengan lahirnya Kerajaan Pajang dan Mataram II. Perubahan kondisi politik seperti ini, memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti geostrategis yang menentukan.
Sedangkan di Jawa Barat, proses islamisasinya hanya ditangani oleh seorang Wali, yaitu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dengan pertimbangan saat itu  penyebaran ajaran Islam di Indonesia Barat, terutama di Sumatera dapat dikatakan telah merata bila dibandingkan dengan kondisi Indonesia Timur. Adapun pemilihan kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati, hal itu tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan jalan perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi yang berasal dari Indonesia Timur. Dan Cirebon merupakan merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke Jawa Tengah, Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Oleh karna itu, pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu, mempunyai nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan Islam selanjutnya.

BAB III
PENUTUP
Wali Songo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa peranan Wali Songo sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa. Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Selanjutnya, dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa, Wali Songa telah menggunakan beberapa strategi dan metode dakwah.  Era Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Setelah para Wali menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa, kepercayaan animisme dan dinamisme serta budaya Hindu-Budha sedikit demi sedikit berubah atau termasuki oleh nilai-nilai Islam
 Secara umum Wali Songo menyiarkan Islam dengan memadukan budaya setempat sebagai media dakwah. Mereka membiarkan budaya dan kepercayaan masyarakat setempat yang sulit dirubah. Namun bagian adat yang mudah dirubah, maka dengan segera mereka menghilangkannya. Mereka melakukannya karena menghindari konfrontasi dengan masyarakat secara langsung. Dan tentunya mereka melakukan hal itu agar mudah berkomunikasi dengan masyarakat, dengan cara itu masyarakat bisa dengan mudah menerima mereka dan mengamalkan apa yang diajarkan. Adapun nama-nama Wali Songo tersebut ialah sebagai berikut: Syiekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijag, Sunan Kudus. Sunan Drajad, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati
Selain itu salah satu cara penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para Wali tersebut ialah dengan cara mendakwah. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat (sebagai objek dakwah), dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.
Daftar Pustaka

Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, Kisah Wali Songo, Surabaya, Karya Ilmu.
M. B. Rahimsyah. AR., Sejarah Wali 9, Tuban, Yayasan Amanah.
Asnan Wahyudi,Abu Khalid,Kisah Wali Songo Para Penyebar Agama Islam Di Tanah Jawa, Surabaya: Karya Ilmu,tt

KEPERCAYAAN EKONOMI DALAM GREBEG KRATON YOGYAKARTA

A.  Latar Belakang
Garebeg atau gerbeg berasal dari bahasa Jawa yang bermakna “suara angin menderu”. Sedangkan kata hanggarebeg memiliki makna “mengiring raja, pembesar, atau pengantin” (Soelarto, 1980: 27). Sedangkan kata Garebeg di Kraton Yogyakarta mempunyai makna khusus yaitu upacara kerajaan yang diselenggarakan untuk keselamatan Negara (wilujengannegari), yaitu berupa keluarnya gunungan dari kraton untuk diperebutkan oleh para pengunjung sebagai kucahdalem (sedekah raja) untuk rakyatnya.
Upacara Grebeg di Yogyakarta dipercaya telah dilaksanakan sejak zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Upacara Garebeg yang dilaksanakan oleh Kraton Yogyakarta terdiri dari tiga macam yaitu, Garebeg Mulud untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, Garebeg Syawal untuk merayakan hari raya Idul Fitri, dan Garebeg Besar untuk merayakan hari raya Idul Adha.
Pelaksanaan Upacara Grebeg dianggap sebagai wujud atau simbol kemurahan dan perlindungan raja terhadap kawulanya. Simbol itu diwujudkan dengan perarakan gunungan yang dikawal kesatuan-kesatuan prajurit kertaon yang disebut bregada. Gunungan yang diarak dari Pagelaran Keraton ini merupakan simbolisasi dari kemurahan hati raja kepada kawulanya atau dalam bahasa Jawa disebut juga sebagai simbol kekucah dalem. Dalam hal ini raja digambarkan sebagai sosok yang mengayomi, mengayemi, dan mengenyangkan kawulanya. Pada acara Grebeg kali ini gunungan dan ubarampenya diperebutkan di tiga tempat, yakni halaman Kantor Gubernur DIY (kepatihan), halaman Pura Paku Alaman, dan halaman Masjid Agung Kauman. Selain dianggap sebagai simbol keberkahan, Garebeg yang diselenggarakan sejak dulu hingga sekarang ini juga tidak dapat dilepaskan dengan masalah ekonomi dan bisnis pariwisata pemerintah Yogyakarta. Prosesi grebeg dapat dijadikan salah satu bisnis pariwisata karena dengan Upacara Garebeg tersebut diharapkan akan dapat mendatangkan banyak wisatawan, salah satunya  yang berkunjung ke acara Sekaten. Dengan demikian, pemerintah kota akan memperoleh pemasukan (in come) dari acara tersebut.

B.  Gerebeg
Garebeg atau gerbeg berasal dari bahasa Jawa yang bermakna “suara angin menderu”. Sedangkan kata hanggarebeg memiliki makna “mengiring raja, pembesar, atau pengantin” (Soelarto, 1980: 27). Kata Garebeg di Kraton Yogyakarta mempunyai makna khusus yaitu upacara kerajaan yang diselenggarakan untuk keselamatan Negara (wilujengannegari), yaitu berupa keluarnya gunungan dari kraton untuk diperebutkan oleh para pengunjung sebagai kucahdalem (sedekah raja) untuk rakyatnya.

C.  Macam-macam garebeg
1.    Garebeg pasa
Upacara Garebeg pasa diselenggarakan pada setiap tanggal 1 Sawal/Syawwal, dan puncak acaranya setelah pelaksanaan pelaksanaa Shalat Idhul Fitri. Garebeg pasa dimaksudkan untuk memperingati Lailah al-Qadr (malam kemuliaan), yaitu malam diturunkannya Kitab Suci Al-Qur’an yang pertama kali. Pada Garebeg ini, keraton mengeluarkna satu gunungan saja, yaitu GununganKakung.
2.    Garebeg besar
Garebeg besar yang dirayakan pada setiap tanggal 10 Besar/ Zu al-Hijjah, bertujuan untuk merayakan Idul Adha. Pada Garebeg ini, keraton mengeluarkan lima jenis gunungan, yaitu Gunungan Kakung, Gunungan Putri, Gunungan Dharat, Gunungan Pawuhan, dan Gunjungan Gepak.
3.    Garebeg mulud
Garebeg mulud dimaksudkan untuk memperingati hari maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Mulud/ Rabi’ulAwwal. Biasanya mereka menghidangkan nasi tumpeng, dan tujuannya adalah untuk memetik hikmah (pelajaran) yang terdapat pada diri nabi Muhammad SAW., di antaranya adalah sifat-sifat yang baik (al-akhlak al-karimah)

D.  Urutan/Tata Cara Ritual
Urutan/tata cara ritual dalam penyelenggaraan Upacara Garebeg terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:
1.    Tahap Persiapan
Dalam penyelenggaraan Upacara Garebeg terdiri dari dua tahap yaitu persiapan fisik dan non fisik. Persiapan fisik dalam bentuk benda-benda dan perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upacara, sedangkan non fisik berwujud sikap dan perbuatan yang harus dilakukan pada waktu sebelum pelaksanaan upacara.
Adapun persiapan yang berwujud fisik, yaitu berwujud benda-benda dan perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan dalampenyelenggaraan upacara. Benda-benda tersebut adalah:
a.    Gunungan beserta segala perlengkapannya
b.    Benda-benda upacara
c.    Benda-benda pusaka kraton
d.   Perlengkapan para prajurit
Sejak sebelum menjelang Upacara Garebeg, para abdi dalem yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan diri, terutama mempersiapkan mental mereka untuk mengemban tugas yang dianggap sakral tersebut. Untuk itu mereka harus menyucikan diri dengan melakukan puasa dan siram jamas. Perayaan Upacara Garebeg melibatkan seluruh warga kraton dan segenap aparat kerajaan dari yang berpangkat tinggi sampai yang rendah.

2.    Tahap Pembuatan Gunungan
Sebelum acara pembuatan gunungan dimulai, terlebih dahulu diadakan selamatan untuk memohon kepada Tuhan agar semua tugas dapat terlaksana dengan baik dari awal sampai akhir. Selamatan tersebut berupa nasi gurih, lengkap dengan lauk pauknya seperti daging ayam, pecel, sambel goreng, dan bermacam-macam gorengan seperti rempeyek, kerupuk, dan tempe goreng ditambah ketan, kolak, dan apem. Setelah diadakan selamatan, baru pembuatan makanan untuk perlengkapan gunungan mulai dikerjakan.Untuk upacara gerebeg yang membutuhkan gunungan putri (pada gerebeg mulud dan gerebeg besar) sebelum membuat gunungan terlebih dahulu diadakan upacara “numpak wajik”. “wajik” adalah sejenis kue dari bahan ketan yang akan digunakan sebagai landasan dalam membuat ‘gunungan putri’.

E.  Anatomi gunungan
1.    Gunungan Kakung mirip dengan gunungan sesungguhnya, karena bentuknya seperti kerucut, yang bagian bawahnya lebih besar daripada bagian atasnya. Pada bagian puncak yang disebut mustoko (kepala) ditancapi kue terbuat dari tepung beras yang disebut baderan.
2.    Gunungan Putri berbentuk menyerupai bokor. Bagian bawah memiliki bangun yang lebih kecil daripada bagian tengah. Sedang bagian tengah ke puncak memiliki bangun yang semakin mengecil, seperti gunung yang bagian puncaknya tidak terlalu lancip
3.    Gunungan Dharat, Pawuhan, dan Gepak. Uraian ketiga gunungan dijadikan satu karena isi dan hiasan ketiga gunungan tersebut tidak sebanyak gunungan Kakung dan Gunungan Putri. Gunungan Dharat bentuknya menyerupai gunugan putri. Bagian puncaknya berhamparkan kue besar berbentuk lempengan warna hitam, sekelilingnya ditancapi sejumlah besar kue ketan berbentuk lidah yang disebut ilat-ilatan. Gunungan pawuhan bentuknya hampir sama dengan gunungan dharat, hanya tidak memiliki mustaka. Sebagai penggantinya diletakkan beberapa mata uang logam yang terbuat dari timah putih, yang dirantai dengan. Gunungan Gepaktidak merupakan sebuah gunungan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan deretan tonjolan-tonjolan tumpul (gepak) dari 40 buah keranjang berisi aneka macam kue kecil-kecil.
4.      Gunungan Brama / Gunungan Kutuq bentuknya mirip dengan gunungan putri, namun pada bagian puncak diberi lobang untuk tempat sebuah anglo dengan bara arang yang membakar segumpal besar kemenyan hingga teru-menerus mengepulkan asap tebal.

F.   Nilai filosofis gunungan
Secara filosofis, gunungan memiliki nilai-nilai berikut:
1.    Gunung sebagai patok dunia, yang mengandung arti bahwa dengan adanya gunung, dunia tidak akan goncang ( stabil). Disamping itu gunungan merupakan meeium yang menghubungkan antara diri manusia dengan yang supranatural agar keselamatan hidup didunia dan akhirat dapattercapai.
2.    Gunung (merapi) mengandung hubungan imaginer dengan segara kidul (laut swlatan). Adanya garis lurus yang jika ditarik dari gunung merapi ke laut selatan, melalui bangunan-bangun yang secara filosofis memiliki makna tersendiri, seperti tugu, kraton, dan krapyak. Dari sini tampak bahwa keraton yogyakarta merupakan salah satu keraton di jawa yang bersifat kosmis, tetapi kosmis yang islami. Disamping itu, laut selatan dan gunung merapi mengandung arti bahwa dalam memegang kekuasaan, sultan masih memerlukan para penjaga yang menetap di segara kidul/laut selatan, yaitu kanjeng ratu kidul; dan yang menetap digunung yaitu sunan merapi, sunan lawu, dan semar
3.    Pada dahulu, dalam prosesi ritual gunungan terdapat empat tema dasar yang serupa dengan tema dasar selametan dan tradisi meditasi. Keempat tema dasar tersebut adalah raja(sultan) yang bermeditasi; prosesi gunungan dan tembakan salvo diantara gunungan kakung dan gunungan putri; pembacaan mantra (doa); dan perebutan benda-benda yang ada di gunungan. Bangunan sitiinggil mewakili pusat alam semesta. Jadi, tatkala bermeditasi, sebetulnya sultan sedang melambangakan posisi transendental Tuhan, diluar ilusi kosmik (nirwana). Tatkala sultan bermeditasi, dapat disamakan dengan mustaka (kepala) gunungan kakung, sebagai formula pembelajaran. Tujuannya adalah untuk meraih manunggaling kawula gusti. Dalam ritual, penyatuhan abdi dengan Tuhan telah terwakili oleh sultan yang bermeditasi yang dikelilingi oleh para pangeran, keluarga istana, dan para abdi dalem. Jadi, setelah sultan selesai melaksanakan meditasi dan kembali ke istana, prosesi gunungan pun dimulai

G. Kepercayaan Ekonomi Masyarakat pada Garebeg Kraton Yogyakarta
Upacara Garebeg yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta memiliki arti penting bagi masyarakat sekitar, khususnya masyarakat Yogyakarta. MasyarakatsekitarmempercayaigununganUpacaraGarebegakanmendatangkankeberkahanbagi yang dapatmengambilsebagiangunungan.Kepercayaan demikian disebabkan oleh karena gunungan tersebut dibuat dengan disertai doa-doa. Bahkan doa resminya dilakukan oleh ulama yang ditunjuk keraton. Sehinggamasyarakat rela menunggu Upacara Garebeg untuk berebut isi gunungan ini. Istilahnya adalah "ngalap berkah" atau mencari berkah dengan mendapatkan isi gunungan. Kepercayaan yang ada jika mendapat isi gunungan akan mendatangkan anugerah dan kesejahteraan dalam hidupnya, sertamendapatkanberkah, seperti kemudahan memperoleh rezeki dan ketenteraman dalam berumah tangga.
Sebagian mereka percaya bahwa ubarampe yang terdapat di gunungan akan memberikan berkah tertentu bagi mereka. Bagi yang memiliki profesi dagang mereka percaya bahwa dengan demikian dagangan mereka akan laris. Demikian pula jika yang memperebutkan adalah seorang petani, maka mereka percaya bahwa tanaman mereka akan menghasilkan panenan yang baik serta tanah pertaniannya subur. Sedangkan bagi yang masih bujangan mereka percaya bahwa mereka akan cepat menemukan jodoh, dan sebagainya. (http://ilmicintaindonesia.blogspot.com/2012/03/upacara-grebeg-maulud-keraton.html).

Antusiasme masyarakat dalam menyambut perarakan gunungan tersebut pada sisi lain menjadi daya tarik wisata yang tentu saja berimplikasi pada pemasukan devisa dan menjadi motor bagi pergerakan ekonomi di lokasi yang bersangkutan. Tidak mengherankan juga jika prosesi ini dikemas dan disatukan dengan berbagai kegiatan lain semacam PMPS yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha ekonominya. Bahkan untuk berbagai ajang sosialisasi program atau produk termasuk kreasi seni.
Dengan bisnis pariwisata yang telah disebutkan di atas, diharaokan banyak wisata yang berkunjung ke sekaten. Dengan demikian, pemerintah kota memperoleh pemasukan (in come), di antaranya dari tiket  masuk ke area sekaten. Dari segi ekonomi, pemerintah kota diuntungkan dengan adanya sewa tanah alun-alun dan juga pajak dari pada pedagang yang mendirikan stand/kios/warung sebagai sarana perdagangan. Dengan demikian, banyak di antara mereka yang menyempatkan untuk memperomosikan hasil produksi mereka, bahkan terjadi transaksi perdagangan di antara mereka. Wajar, apabila di antara mereka juga membeli barang-barnagyang biasanya harganya relatif lebih murah jika dibanding dengan harga barang-barang di toko.
Barang-barang yang dijual pun bervariasi, dari yang tradisional sampai yang paling modern. Di samping sebagai sarana jual  beli, arena tersebut juga dipergunakan sebagai ajang promosi, baik oleh perusahaan milik pemerintah maupun perusahaan milik swasta.

Daftar pustaka
Suyami. (2008).Upacara Ritual Di Keraton Jogja. ).ogyakarta: Kepel Press.
Yusuf, Mundzirin. (2009). Makna dan Fungsi Gunungan pada Upacara Garebeg di Kraton Ngayogyakarta Hardiningrat. Yogyakarta: CV. Amanah.

 
© Copyright 2010 _Fahri kurniawan_
Theme by Fahri Kurniawan