"Selamat Datang Di Fahriikurniiawan.blogspot.com,,,Mari Berbagi Inspirasi dan Pengalaman"

Jumat, 07 Desember 2012

PERSPEKTIF HUMANISTIK-EKSISTENSIAL DALAM MEMAHAMI PERILAKU ABNORMAL


PERSPEKTIF HUMANISTIK-EKSISTENSIAL DALAM MEMAHAMI
PERILAKU ABNORMAL

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Abnormal
Dosen Pengampu : Sara Palila, S. Psi., Psi., M.A



Disusun oleh :
Mauizatul Jannah (10710010) Wiji Catur Wulandari (10710040) Eka Mulyani (10710020)             Naufil Istighfari (10710045) Gathit Puspitasari (10710023) Nur Rofingah (10710078) 
Fahri Kurniawan (10710036) Siti M (107100198) Febri F (10710030) Shinta Putri M (10710103)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012



BAB 1
PENDAHULUAN

Abnormal adalah perilaku yang menyimpang dari normal. Terdapat banyak konsepsi mengenai abnormalitas menurut tinjauan tertentu. Aliran humanistik yang merupakan aliran ketiga seteleh psikodinamika dan behavioristik. Dimana aliran humanistik ini sangat menentang kedua aliran sebelumnya tersebut. Meskipun memiliki pandangan yang berbeda, tetapi aliran ini berpijak pada konsepsi fundamental yang sama mengenai manusia, yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yaitu eksistensialisme. Manusia, menurut eksistensialisme adalah hal yang mendalam-dalam dunia (being-in-the-world), dan menyadari penuh akan keberadaannya. Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya, para filsuf eksistensialisme percaya bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasibnya, serta bertanggungjawab atas pilihan dan keberadaannya.
Pemikiran yang optimisik dari humanistik ini bertolak dari pengandaian bahwa manusia pada dasarnya dilahirkan baik. Tingkah laku manusia dengan sadar, bebas dan bertanggungjawab dibimbing oleh daya-daya yang positif yang berasal dari dalam dirinya sendiri ke arah pemekaran seluruh potensi manusiawinya secara penuh. Agar berkembang ke arah positif, manusia tidak pertama-tama membutuhkan pengarahan melainkan sekedar pendampingan personal serta penerimaan dan penghargaan demi berkembangnya potensi positif yang melekat pada dirinya. Lantas bagaimana bisa individu menjadi abnormal? Di sini akan dibahas beberapa pandangan mengenai perilaku abnormal menurut para tokoh humanistik beserta dengan terapi atau proses penyembuhan.

BAB II
ISI
A.    Perspektif Humanistik-Eksistensial dalam Memahami Perilaku Abnormal
Pusat dari perspektif humanistik adalah keyakinan bahwa motivasi manusia didasarkan pada suatu tendensi bawaan untuk pencarian pemenuhan diri dan arti dalam hidup. Menurut teori kepribadian humanistik, seseorang termotivasi oleh kebutuhan untuk memahami diri mereka dan dunia serta untuk mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dengan cara memenuhi potensi unik mereka. Secara umum perilaku abnormal menurut humanistik adalah saat Konsep self yg terganggu
Menurut pendekatan humanistik, penyebab gangguan prilaku adalah terhambat atau terdistorikannya perkembangan pribadi dan kecenderungan wajar arah kesehatan fisik dan mental. Hambatan ini bersumber dari:
1.      Penggunaan mekanisme pertahanan diri yang berlebihan.
2.      Kondisi sosial yang tidak menguntungkan.
3.      Stres yang berlebihan.
Menurut pendekatan ini, tujuan psikoterapi adalah menolong individu meninggalkan benteng-benteng pertahanan diri dan belajar mengakui dan menerima pengalaman sejati mereka, belajar mengembangkan bentuk kompetensi yang diperlukan dan menemukan nilai-nilai hidup. Sedangkan, menurut pendekatan eksistensial, manusia modern terjebak dalam situasi hidup tidak menyenangkan yang merupakan buah pahit dari modernisasi yang berupa melemahnya nilai-nilai tradisional, krisis iman, hilangnya pengakuan atas individu sebagai pribadi akibat berubahnya masyarakat ke arah biokratik. Situasi ini membuat orang merasa kosong hidupnya, merasa serba cemas, dan akhirnya terperosok kedalam psikopatologi. Maka, menurut model eksistensial, tujuan psikoterapi adalah menolong orang menjernihkan nilai hidupnya dan membuat hidup lebih bermakna.
B.     Pandangan Terhadap perilaku Abnormal
Maslow menyatakan bahwa pribadi yang normal dengan jiwa yang sehat ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: (Kartono, 2000)
a.       Memiliki rasa aman yang tepat.
b.      Memiliki penilaian diri dan wawasan yang rasional.
c.       Memiliki spontanitas dan emosional yang tepat.
d.      Memiliki kontak dengan realitas secara efisien.
e.       Memiliki dorongan-dorongan dan nafsu-nafsu yang sehat.
f.       Memiliki pengetahuan mengenai dirinya secara objektif.
g.      Memiliki tujuan hidup yang adekuat, tujuan hidup yang realitistis yang didukung oleh potensi.
h.      Mampu belajar dari pengalaman hidupnya.
i.        Sanggup untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kelompok.
Dari uraian di atas, maka dapat diketahui pula ciri-ciri orang yang berperilaku abnormal. Maslow berpendapat apabila manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, maka ia akan mengalami gangguan jiwa.
Sedang Menurut Rogers, perilaku abnormal adalah hasil dari perkembangan konsep tentang self yang terganggu. Apabila orang tua menunjukan pada anak tentang conditional positive regard, orang tua akan menerima mereka apabila mereka berperilaku dengan cara yang disetujui, anak-anak mungkin belajar untuk tidak memiliki pikiran, perasaan dan perilaku yang ditolak oleh orang tua mereka. Dengan conditional positive regard, anak-anak mungkin belajar untuk mengembangkan kondisi untuk berharga (condition of worth), untuk berpikir bahwa diri mereka sendiri berharga hanya apabila mereka berperilaku dengan cara tertentu yang telah disetujui. Dengan contoh, seorang anak yang dihargai oleh orang tuanya, hanya ketika ia patuh mungkin ia akan menyangkal pada dirinya sendiri bahwa ia pernah memiliki perasaan marah. Dalam sebuah kasus dimana ide mereka berbeda dari pandangan-pandangan orang tua mereka bahkan idenya tersebut tidak dapat diterima oleh orang tuanya. Ketidaksetujuan orang tuanya itulah membuat mereka memandang diri sendiri sebagai pemberontak, merasa salah, egois, bahkan jahat. Tetapi, jika mereka berkeinginan untuk mempertahankan self-esteem, mungkin mereka harus menyangkal perasaan bersalah mereka. Kemudian mereka akan mengembangkan self-concept atau pandangan tentang diri mereka sendiri yang terdistorsi dan menjadi orang asing bagi diri mereka sesungguhnya.
Rogers meyakini bahwa kecemasan mungkin muncul ketika kita mulai merasakan perasaan dan ide kita tidak konsisten dengan self-concept terdistorsi yang telah kita kembangkan, yang mencerminkan apa yang diharapkan orang lain tentang kita. Oleh karena itu kecemasan tidak menyenangkan kita mungkin menyangkal bahwa ide dan perasaan ini pernah muncul. Sehingga self-actualization kita yang sesungguhnya menjadi terganggu dengan penyangkalan terhadap ide dan emosi yang penting. Energi psikologis diarahkan pada penyangkalan dan self-defense yang berlangsung terus menerus tetapi bukan kearah pertumbuhan.
Lagi, menurut frankl Perilaku abnormal terjadi ketika seseorang tidak mampu memaknai hidupnya. Inti dari manusia adalah pencarian makna dan tujuan hidup. Manusia modern mempunyai banyak cara untuk hidup tetapi sering tidak punya makna hidup, sehingga keberadaan waktunya seperti tidak berguna, atau “kekosongan yang nyata.”

C.    Patologi
Dalam humanistik khususnya maslow Orang yang tidak bisa mengaktualisikan diri disebut abnormal. Dan jika berbagai meta kebutuhan tidak terpenuhi maka akan terjadi meta patologi seperti:
a.    Apatisme
b.    Kebosanan
c.    Putus asa
d.   Tidak punya rasa humor lagi
e.    Keterasingan
f.     Mementingkan diri sendiri
g.    Kehilangan selera.
Menurut rogers, tidak semua orang bisa menjadi pribadi yang sehat secara psikologis, karena sebagian besar orang banyak mengalami :
a.       Kondisi berharga (positive regard) dan evaluasi eksternal dapat mengarah pada kerapuhan, kecemasan, dan ancaman.
b.      Incongruency, berkembang ketika diri organismik dan diri yang dipahami tidak cocok, ketidakkongruenan antara konsep diri dan penghayatan organismik adalah sumber gangguan psikologis.semakin besar ketidakkongruenan antara diri yang kita pahami (konsep diri) dan penghayatan organismik kita, semakin rapuhlah diri kita.
c.        Pertahanan diri, ketika diri organismik dan diri yang dipahami tidak congruence, manusia akan menjadi defensive dan menggunakan distorsi untuk penyangkalan sebagai upaya untuk mereduksi ketidakkongruenan.
d.       Disorganisasi, ketika pertahanan diri gagal beroperasi dengan tepat, perilaku dapat terjadi tidak terorganisasikan. Sehingga menyebabkan seseorang menjadi rapuh.
Terakhir menurut Frankl, patologi dalam humanistik dideskripsikan dengan ciri-ciri :
a.       ”Frustasi eksistensial”.
Frustasi eksistensial muncul ketika dorongan untuk hidup bermakna mengalami hambatan. Gejala-gejala dalam frustasi eksistensial tidak mewujud secara nyata, karena pada umumnya bersifat laten dan terselubung (masked). Perilaku yang menandai frustasi eksistensial biasanya terungkap dalam berbagai usaha untuk memperoleh kompensasi besar melalui penyaluran hasrat untuk berkuasa (the will to power) atau bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure). Di Negara-negara barat hasrat untuk berkuasa dan bersenang-senang tercermin dalam perilaku yang obsesif untuk mengumpulkan uang (the will to money), untuk bekerja (the will to work), dan pelampiasan hasrat seksual (the will to sex).
Frustasi eksistensial sering ditemukan dalam gejala neurosis. Untuk neurosis jenis ini, logoterapi menandainya dengan istilah “neurosis noogenik” yang berbeda dengan neurosis “psikogenik”. Neurosis noogenik memiliki akarnya tidak dalam dimensi psikologis, tetapi lebih pada dimensi “noological” (dari bahasa Yunani “noos” yang berarti pikiran atau spirit) dari eksistensi manusia. Ini adalah istilah dalam Logoterapi yang merujuk pada sesuatu yang berkaitan dengan sisi spiritual manusia. Namun hendaknya diingat, dalam frame rujukan Logoterapi istilah “spiritual” tidak memiliki konotasi utama pada agama, namun kembali secara khusus pada eksistensi manusia.
b.      “Kehampaan eksistensial”.
Kehampaan eksistensil muncul dalam perilaku yang menunjukkan perasaan serba hampa, gersang, dan kebosanan yang berlebihan. Menurut Frankl, faktor-faktor yang menyebabkan meluasnya kehampaan eksistensial adalah dianutnya ideologi-edeologi tentang manusia yang bercorak reduksionistik, pan-determinisme, serta teori-teori homeostatis. Wawasan-wawasan tersebut menganggap eksistensi manusia sebagai sistem yang tertutup, atau memandang manusia dari sudut pandang kemanusiaan yang sub-human, dan dengan demikian mengembangkan berbagai model manusia yang berpola “rat-model”, “machine model”, “computer model”, dan sebagainya. Wawasan-wawasan ini mengingkari karaktersitik khas manusia seperti: kemampuan mentransendensikan diri, kemampuan mengambil jarak dengan lingkungan dan diri sendiri, kebebasan berkehendak, rasa tannggung jawab, dan spiritualitas.
c.        “Neurosis noogenik”.
Neurosis noogenik tidak muncul dari arahan konflik antara Id-Ego-Superego, konflik instingtif, trauma psikis, dan berbagai kompleks psikis lainnya, akan tetapi muncul dari problematika spiritual. Neurosis noogenik tidak mengakar pada dimensi psikis manusia, melainkan bersumber pada dimensi spiritual, sehingga dengan demikian neurosis ini tidak bersifat psikogen, tetapi spiritual/ noogenik. Frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang menyebabkan terjadinya neurosis jenis ini.

D.    Intervensi/ Terapi
Terapi dalam humanistik ini menurut Maslow lebih menekankan ke pengalaman pribadinya klien. Dalam hal ini, Maslow mengembangkan terapi interpersonal. Menurut Maslow kepuasan kebutuhan dasar hanya dapat terjadi melalui hubungan interpersonal, karena itu terapi harus bersifat interpersonal. Suasana terapi harus melibatkan perasaan saling berterus terang //jujur, saling percaya dan tidak defense. Suasanan itu juga mengijinkan klien mengeluarkan ekspresi kekanak-kanakan dan memalukan. Dalam suasanan yang demokratis terapis harus memberikan klien penghargaan, cinta dan perasaan bahwa klien itu berada dalam alur perkembangan yang benar. Klien secara umum didorong untuk menampilkan nilai-nilai yang berhubungan dengan perkembangan positif, berani membuka diri, belajar memahami lebih lanjut mengenai kompleksitas kehidupan manusia.
Sedang menurut Terapi humanistik berfokus pada pengalaman klien yang subyektif dan disadari, terapi humanistik ini juga berfokus pada apa yang dialami klien saat ini, di sini dan sekarang dari pada masa lalu. Bentuk utama dari terapi humanistic ini adalah terapi terpusat pada individu  (person centered therapy), disebut juga terapi terpusat pada klien (client centered therapy).
Rogers (1951) percaya bahwa orang-orang memiliki kecenderungan motivasional alami kearah pertumbuhan , pemenuhan dan kesehatan. Dalam pandangan Rogers, gangguan psikologis berkembang sebagian besar akibat hambatan yang ditempatkan oleh orang lain dalam perjalanan kearah  self-actualization. Dengan perjalanan waktu, kita dapat mengembangkan self-concept terdistorsi yang konsisten dengan pandangan orang lain terhadap kita, tetapi bukan yang dibuat atau didesain oleh diri sendiri dan sebagai hasilnya kita dapat menjadi kurang mampu menyesuaikan diri, tidak bahagia, dan bingung tentang siapakah dan apakah kita ini. Orang-orang yang penyesuaian dirinya baik yang melakukan pilihan dan bertindak secara konsisten dengan nilai-nilai dan kebutuhan pribadi mereka. Terapi terpusat individu menciptakan kondisi hangat dan penerimaan dalam hubungan terapeutik yang membantu klien untuk  menjadi lebih sadar dan menerima diri mereka sendiri.
Terapi terpusat individu bersifat tidak mengarahkan. Klien bukan terapis yang memimpin dan mengarahkan jalannya terapi. Terapis menggunakan refleksi, pengulangan atau perumusan kembali dari perasaan-perasaan yang diekspresikan klien tanpa menginterpretasikan atau memberikan penilaian. Cara ini mendorong klien untuk mengeksplorasi lebih jauh perasaannya dan hubungannya dengan perasaan yaqng lebih dalam dan bagian dari diri yang tidak diakui karena kritikan sosial.
Client centered ini berguna untuk merefleksikan kepercayaannya bahwa setiap orang pada dasarnya baik dan bahwa potensi pengembangan diri terletak di dalam diri individu tersebutdan bukan pada terapis ataupun metode terapi. Terapi ini harus berfokus pada kebutuhan klien, bukan pada sudut pandang klinisi. Rogers merekomendasikan para terapis untuk melakukan treatment terhadap klien dengan penerimaan positif tidak bersyarat (unconditional positif regard). Metode ini melibatkan penerimaan penuh terhadap apa yang dikatakan, dilakukan dan dirasakan oleh klien. (Richard, 2010)
Terakhir, Jenis terapi yang digunakan oleh VicTor Frankl adalah Logotherapy, yaitu terapi melalui makna. Dimana tujuan dari terapi ini adalah menantang manusia untuk menemukan makna dan tujuan hidup melalui penderitaan, pekerjaan dan cinta.
Menurut Frankl (2004) logoterapi berasal dari kata logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti makna. Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna hidup dalam hidup seseorang merupakan motivator utama orang tersebut. Logoterapi berusaha membuat pasien menyadari secara tanggungjawab dirinya dan memberinya kesempatan untuk memilih, untuk apa, atau kepada siapa dia merasa bertanggungjawab. Logoterapi tidak menggurui  atau berkotbah melainkan pasien sendiri yang harus memutuskan apakah tugas hidupnya bertanggung jawab terhadap masyarakat, atau terhadap hati nuraninya sendiri.
Logoterapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi; fisik, psikis, spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus memperhitungkan ketiganya. Selama ini dimensi spiritual diserahkan pada agama, dan pada gilirannya agama tidak diajak bicara untuk urusan fisik dan psikilogis. Kedokteran, termasuk psikologi telah mengabaikan dimensi spiritual sebagai sumber kesehatan dan kebahagiaan (Jalaluddin Rahmat, 2004).
Menurut Frankl (dalam Trimardhany, 2003) logoterapi memiliki wawasan mengenai manusia yang berlandaskan tiga pilar filosofis yang satu dengan lainya erat hubunganya dan saling menunjang yaitu:
a.         Kebebasan berkehendak ( Freedom of Will )
Dalam pandangan Logoterapi manusia adalah maKhluk yang istimewa karena mempunyai kebebasan. Kebebasan di sini bukanlah kebebasan yang mutlak, tetapi kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan manusia bukanlah kebebasan dari (freedom from) kondisi-kondisi biologis, psikologis dan sosiokultural tetapi lebih kepada kebebasan untuk mengambil sikap ( freedom to take a stand ) atas kondisi-kondisi tersebut. Kelebihan manusia yang lain adalah kemampuan untuk mengambil jarak ( to detach ) terhadap kondisi di luar dirinya, bahkan manusia juga mempunyai kemampuan-kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri ( self detachment ). Kemampuan-kemampuan inilah yang kemudian membuat manusia disebut sebagai “ the self deteming being” yang berarti manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang dianggap penting dalam hidupnya.
b.        Kehendak Hidup Bermakna ( The Will to Meaning )
Menurut Frankl, motivasi hidup manusia yang utama adalah mencari makna. Ini berbeda denga psikoanalisa yang memandang manusia adalah pencari kesenangan atau juga pandangan psikologi individual bahwa manusia adalah pencari kekuasaan. Menurut logoterapi ( Koeswara, 1992 ) bahwa kesenangan adalah efek dari pemenuhan makna, sedangkan kekuasaan merupakan prasyarat bagi pemenuhan makna itu. Mengenal makna itu sendiri menurut Frankl bersifat menarik ( to pull ) dan menawari  ( to offer ) bukannya mendorong ( to push ). Karena sifatnya menarik itu maka individu termotivasi untuk memenuhinya agar ia menjadi individu yang bermakna dengan  berbagai kegiatan yang sarat dengan makna.
c.         Makna Hidup ( The Meaning Of  Life )
Makna hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar  dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang ( Bastaman, 1996 ). Untuk tujuan praktis makna hidup dianggap identik dengan tujuan hidup. Makna hidup bisa  berbeda  antara manusia satu dengan yang lainya dan berbeda setiap hari, bahkan setiap jam. Karena itu, yang penting bukan makna hidup secara umum, melainkan makna khusus dari hidup seseorang pada suatu saat tertentu. Setiap manusia memiliki pekerjaan dan misi untuk menyelesaikan tugas khusus. Dalam kaitan dengan tugas tersebut dia tidak bisa digantikan dan hidupnya tidak bisa diulang. Karena itu, manusia memiliki tugas yang unik dan kesempatan unik untuk menyelesaikan tugasnya ( Frankl, 2004).
Dalam hal ini, logoterapi ada tiga cara, yaitu:
1)         Dengan memberi kepada dunia lewat suatu ciptaan / karya.
2)         Dengan mengambil sesuatu dari dunia melalui pengalaman
3)        Dengan sikap yang diambil manusia dalam menyikapi penderitaan
Selain itu beberapa terapi yang dikembangkan oleh Humanistik diantaranya :
1.      Person Center Therapy (Carl Roger)
2.      Gestalt Therapy (Fritz Perls)
3.      Transactional Analysis ( Eric Berne)
4.      Rational-Emotive Therapy (Albert Ellis)
5.      Logotherapy (Victor Frankl)
6.      Existensial Analysis(Rollo May,James F.T,Bugental)
7.      Terapi kelompok dengan pendekatan humanistik

BAB III
KESIMPULAN
                                                                                    
            Aliran humanistik dalam memahami perilaku abnormal berfokus pada pengalaman yang disadari. Para tokoh humanistik membawa konsep-konsep berupa pilihan bebas, kebaikan yang sifatnya bawaan mereka dalam diri, dan tanggungjawab. Saat memahami perilaku abnormal, dalam pandangan humanistik perlu untuk memahami penghambat yang dihadapi orang dalam mencapai self-actualization. Untuk mencapai hal ini terapi yang dilakukan adalah dengan memandang dunia dari perspektif klien karena pandangan subjektif klien.

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol.2008. Psikologi Kepribadian. Jakarta: UI Press
Feist, J.G.2008.Theories Of Personality.Yogyakarta : Pustaka Pelajar 
Halgin, Richard P. 2010. Psikologi Abnormal. Jakarta: Salemba Humanika.
Kartini Kartono. 2000. Psikologi Abnormal. Bandung: Mandar Maju
Nelson Richard-Jones. 2011. Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nevid, Jeffrey S. 2003. Psikologi Abnormal Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan.

Draft Makalah EDWIN RAY GUTHRIE


EDWIN RAY GUTHRIE
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Belajar
Dosen Pengampu : Zidni Immawan M



Disusun oleh :
Fahri Kurniawan, Nina Maryati, Fajar NDF, Feni F, Nur Rofingah

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
A.    Riwayat Edwin R. Guthrie
Edwin Ray Guthrie adalah putra pertama dari lima bersaudara yang lahir dari keluarga berkecukupan, karena Ibunya seorang Guru dan Ayahnya seorang Wiraswastawan. Beliau dilahirkan di Lincoln, Nebraska pada 9 Januari 1886. setelah lulus dari sekolah menengah kemudian Guthrie berpindah ke Universitas Nebraska dan lulus dengan Ijazah Matematika kemudian mengajar matematika di beberapa sekolah menengah sambil, memperdalam filsafat di Universitas Pennsylvania dan lulus sebagai doktor. Kemudian dilanjutkan dengan menjadi instruktur pada departemen filsafat di Universitas Washington. Setelah lima tahun kemudian, ia berpindah ke departemen psikologi di mana Ia menetap sampai kariernya berakhir.  Pada usia 33 tahun Dr. Guthrie pemenang nobel yang diberikan oleh Asosiasi Psikologi Amerika dalam kategori kontribusi mutakhir. Selama Perang dunia II, Ia pernah menjadi Dekan di Universitas Washington. Departemen Psikologi di sebuah Universitas yang kemudian bangunan tersebut dinamai Gutherie Hall. Guthrie membuat kontribusi yang patut diperhitungkan dalam dunia ilmu pengetahuan, khususnya filsafat, psikologi abnormal, psikologi sosial, pelajaran dan teori psikologi bidang pendidikan. Salah satu kontribusinya yang paling dikenal adalah teori belajar-nya yang berdasar pada asosiasi (Anonim, 2011).
B.     Teori Guthrie : One trial learning
Aristoteles berpendapat  bahwa kekuatan hukum asosiasi adalah tergantung pada frekuensi kemunculannya. Menurut Thorndike, Skinner dan Hull, frekuensi dibuat mengacu pada asosiasi yang terbentuk antara respon (yang mengantarkan organisme pada kepuasan) dengan kondisi yang distimulasi (mendahului respon). Menurut  Pavlov, US dan CS yang selalu dipasangkan akan membuat CS mampu memunculkan respon (Hergenhahn dan Olson, 2008).
Sedangkan menurut Guthrie asosiasi menjadi kuat antara stimulus dan respon pada saat pertama saja, sehingga tidak perlu dilakukan secara berulang-ulang. Guthrie menolak hukum frekuensi. Menurutnya, belajar akan menjadi lengkap setelah dipasangkan antara stimulus respon hanya satu kali saja (Hergenhahn dan Olson, 2008).
C.     Pandangan Guthrie Tentang Hukum Belajar
Hukum belajar yang dikemukakan oleh Guthrie adalah hukum kontiguitas (law of contiguity). Maksudnya adalah : “ kombinasi stimuli yang mengiringi gerakan akan cenderung diikuti oleh gerakan itu jika kejadiaannya berulang”. Jadi, jika pada situasi tertentu kita melakukan sesuatu, maka pada waktu lain dan situasinya sama kita akan cenderung melakukan hal yang sama juga.
Hukum tersebut diusulkan oleh Guthrie karena menganggap kaidah yang dikemukakan oleh Thorndike dan Pavlov terlalu rumit dan berlebihan. Thorndike mengemukakan bahwa, jika respons menemukan kondisi yang memuaskan maka koneksi S-R akan menguat. Disisi lain Pavlov mengemukakan dengan hukum belajarnya dengan model kondisional berupa CR-CS-US-UR. Unsur- unsur itulah yang dianggap oleh guthrie berlebihan.
Pada publikasi terahirnya sebelum meninggal, Guthrie sempat merevisi hukum kontiguitasnya menjadi, “apa- apa yang dilihat akan menjadi sinyal terhadap apa- apa yang dilakukan”. Alasannya karena terdapat berbagai macam stimuli yang dihadapi oleh organisme pada satu waktu tertentu dan organisme tidak mungkin membentuk asosiasi dengan semua stimuli itu. Organisme hanya akan memproses secara efektif pada sebagian kecil dari stimuli yang dihadapinya, dan selanjutnya proporsi inilah yang akan diasosiasikan dengan respons.
D.    Stimuli yang Dihasilkan oleh Gerakan
Meskipun Guthrie menekankan keyakinannya pada hukum kontiguitas di sepanjang karirnya, dia menganggap akan keliru jika kita menganggap asosiasi yang dipelajari sebagaian hanya asosiasi antara stimuli lingkungan dengan prilaku nyata. Misalnya, kejadian di lingkungan dan responsnya terkadang dipisahkan oleh satu interval waktu, dan karenanya sulit untuk menganggap keduanya sebagai kejadian yang bersamaan.
Guthrie selanjutnya mengatasi problem tersebut dengan mengemukakan adanya movement-product stimuli (stimuli yang dihasilkan oleh gerakan), yakni disebabkan oleh gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengar telepon berdering kita berdiri dan berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum kita sampai ke pesawat telepon, suara deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak sebagai stimulus. Kita tetap bergerak karena ada stimuli dari gerakan kita sendiri menuju pesawat telepon.
E.     Praktik latihan
Untuk menjawab pertanyaan ini, Guthrie membedakan antara act (tindakan) dengan movement (gerakan). Gerakan adalah kontraksi otot; tindakan terdiri dari berbagai macam gerakan. Tidakan biasanya didefinisikan dalam term apa- apa yang dicapainya, yakni perubahan apa yang mereka lakukan dalam lingkungan. Sebagai contoh tindakan, Guthrie menyebut misalnya mengetik surat, makan pagi, dll.
Adapun untuk belajar tindakan membutuhkan praktik latihan. Belajar bertindak, yang berbeda dari gerakan, jelas membutuhkan praktik sebab ia mengharuskan gerakan yang tepat telah diasosiasikan dengan petunjuknya. Bahkan menurut Guthrie, tindakan sederhana seperti memegang raket membutuhkan beberapa gerakan berbeda sesuai jarak dan arah posisi subjek itu. Untuk itulah diperlukan sebuah latihan, karena dengan menguasai sebuah tindakan tidak menjamin pada saat waktu, jarak, dan posisi yang berbeda tindakan itu masih dapat dilakukan.
F.      Sifat Penguatan
Apa yang menggantikan kekuatan dalam teori Guthrie? Pada poin ini Gutrie menggunakan isu yang dibahas Thorndike, ketika satu respons menimbulkan keadaan yang memuaskan, maka selanjutnya terulangnya respons akan meningkat. Guthrie menganggap hukum efek tidak dibutuhkan. Menurut Guthrie, reinformance (penguatan) hanyalah aransemen mekanis, yang dianggap dapat dijelaskan dengan hukum belajaranya.
Gutrie menganggap, penguatan mengubah kondisi yang menstimulasi, dan karenanya mencegah terjadinya nonlearning. Misalnya, dalam kotak teka teki, hal yang dilakukan hewan sebelum menerima satu penguat adalah menggerakkan satu tuas atau menarik cincin, yang membuatanya bisa keluar dari kotak itu, dan seterusnya. Oleh karena itulah, Guthrie dan Horton mengatakan, menurut pendapat mereka tindakan yang dilakukan oleh kucing itu akan selalu sama, karena kucing itu menganggap itulah caranya membebaskan diri dari kotak. Oleh karena itu, tidak memungkinkan adanya respons baru yang dihubungkan dengan kotak tersebut.
G.    Cara Memutuskan Kebiasaan
Kebiasaan dalam teori Guthrie ini didefinisikan sebagai sebuah respon yang diasosiasikan dengan beberapa stimuli yang berbeda. Untuk menghentikan kebiasaan yang inappropriate ( tidak sesuai ) maka kebiasaan itu perlu diputus. Untuk itu, perlu memutus pula hubungan antara asosiasi dengan 'cues' yang memunculkan stimuli (rangsangan) dan respons. Ada tiga metode yang ditawarkan oleh Gutrhrie untuk memutuskan kebiasaan yaitu metode ambang pintu ( threshold methode ), metode yang kaku ( fatigue methode), dan metode respons tandingan (incompatable respons methode).
Ringkasan Tiga Metode memutus Kebiasaan:
Metode
Karakteristik
Contoh
Ambang Batas (threshold)
1.      Mengenalkan stimuli dengan kekuatan yang lemah. Secara perlahan meningkatkan kekuatan stimuli, tetapi menjaganya dibawah respons batas minimal.
Memasang pelana kuda : mulai dengan selimut yang ringan , kemudian selimut yang lebih berat, baru kemudian pelana kuda.
Metode fatigue (kelelahan)
" mengeluarkan " semua respons dalam menghadirkan stimuli.
Melemparkan pelana diatas kuda dan menaiki kuda samapai kuda meringkik, menendang, dan berusaha sekuat tenaga untuk melempar orang yang menaikinya. (joki) : pelana dan joki menjadi stimulus untuk berjalan dan berlari dengan tenang.  
Metode respons tandingan (incompatable Respons Methode)
Memasangkan stimulus (S1) yang menyebaabkan perilaku tidak sesuai (inapropiate) dengan stimulus (S2) yang memunculkan respons-respons yang sesuai (apropiate), perilaku yang sesuai diasosiasikan dengan stimulus (S2).
Untuk menghentikan menghindar dan takut berlebihan, dengan memasangkan ketakutan pada suatu objek ( seperti harimau mainan ) dengan sebuah stimulus yang memunculkan perasaan hangat dan penuh kasih saying., seperti gambar seorang ibu.

Berbeda dengan reinforcemen yang tidak terlalau berperan dalam proses belajar , hukuman (punishment) mempunyai pengaruh penting mengubah perilaku seseorang . punishment jika diberikan secara tepat dalam menghadirkan sebuah stimulus yang memunculkan perilaku inappropriate, dapat menyebabkan subyek melakukan sesuatu yang berbeda. Guthrie menjelaskan dengan mengambil contoh seorang gadis yang setiap kali pulang sekolah selalau meletakkan tas dan sepatu disembarang tempat setiap hari . kemudian sang ibu memerintahkan anaknya untuk mengambil tas dan kaos kakinya dilantai kemudian keluar rumah dan kembali masuk rumah serta langsung meletakkan pada tempatnya. Setelah tindakan itu berkali-kali dilakukan setiap anaknya pulang sekolah dan meletakkan tas dan kaos kaki sembarangan akhirnya perilaku  meletakkan tas dan kaos kaki pada tempatnya diasosiasikan dengan harus keluar rumah dan masuk kembali ke dalam rumah. 
Salah satu eksperimen yang dilakukan oleh Gutrie untuk mendukung teori kontiguitas adalah percobaannya dengan kucing yang dimasukkan ke dalam kotak puzel. Kemudian kucing tersebut berusaha keluar. Kotak dilengkapi dengan alat yang bila disentuh dapat membuka kotak puzel tersebut. Selain itu kotak tersebut juga dilengkapi dengan alat yang dapat merekam gerakan-gerakan kucing dalam kotak. Alat tersebut menujukan bahwa kucing telah belajar mengulang gerakan-gerakan sama yang di asosiasikan dengan gerakan-gerakan sebelumnya. Ketika dia dapat keluar dari kotak tersebut.
1.      Membelokkan Kebiasaan
Ada perbedaan antara memutus kebiasaan dengan membelokkan kebiasaan. Membelokkan kebiasaan dilakukan dengan menghindari petunjuk yang menimbulkan perilaku yang tak diinginkan. Jika anda mengumpulkan sejumlah besar pola perilaku tak efektif atau menyebabkan kecemasan, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah meningkatkan situasi itu. Guthrie menyarankan agar anda pergi kesuatu lingkungan baru yang memberi anda kesegaran baru karena anda tidak punya banyak asosiasi dengan lingkungan baru itu. Pergi kelingkungan baru akan membuat anda legah dan bisa mengembangkan pola perilaku yang baru. Tetapi ini hanyalah pelarian parsial karena banyak stimuli yang menyebabkan perilaku yang tak diinginkan adalah stimuli internal anda, dan anda karenanya akan membawa stimuli itu ke lingkungan yang baru. Juga stimuli dalam lingkungan baru yang identik atau mirip dengan stimuli di lingkungan lama akan cenderung menimbulkan respon yang sebelumnya di kaitkan dengannya.
2.    Hukuman
Guthrie mengatakan efektivitas punishment (hukuman) ditentukan oleh apa penyebab tindakan yang dilakukan oleh organisme yang dihukum itu. Hukuman bekerja baik bukan karena rasa sakit yang dialami oleh individu terhukum, tetapi karena hukuman mengubah cara individu merespons stimuli tertentu. Hukuman akan efektif jika menghasilkan respons baru terhadap stimuli yang sama.
Hukuman berhasil mengubah perilaku yang tidak diinginkan karena hukuman menimbulkan perilaku yang tidak kompitabel dengan perilaku yang dihukum. Hukuman akan gagal jika perilaku yang disebabkan oleh hukuman selaras dengan perilaku yang dihukum. Misalnya, anda punya seekor anjing yang suka mengejar-ngejar mobil dan anda ingin menghentikan kebiasaannya. Gutrie menyarankan, anda mengendarai mobil dan biarkan anjing mengejarnya. Saat anjing berlari disisi mobil pelankan kendaraan anda dan tamparlah moncong si anjing. Ini kemungkinan akan efektif. Dilain pihak menampar pantat anjing saat berlari mungkin kurang efektif meskipun diasumsikan tamparan pada moncong dan pantat sama-sama menyakitkan. Perbedaannya adalah tamparan pada moncong cenderung membuat anjing berhenti dan berlompat kebelakang, sedangkan tamparan di pantat cenderung membuat anjing kencang lari ke depan. Jadi satu bentuk hukuman menyebabkan perilaku yang tidak kompatibel dan efektif sedangkan hukuman lainnya tidak efektif.
Segala sesuatu yag dikatakan Guthrie tentang hukuman adalah satu hukuman belajarnya- koniguitas. Ketika stimuli dan respon dipasangkan mereka menjadi diasosiasikan dan tetap diasosiasikan kecuali stimuli yang terjadi di situ memunculkan respon lain, dimana mereka diasosiasikan dengan respon baru tersebut. Hukuman adalah bentuk arasemen yang lain. Hukuman apabila digunakan secara efektif , akan menyebabkan stimuli yang sebelumnya menimbulkan respon yang tak diinginkan menjadi memunculkan respon yang dapat diterima. Ringkasan pendapat Guthrie tentang hukuman sebagi berikut :
a.       Hal penting mengenai hukuman adalah bukan rasa sakit yang ditimbulkannya tetapi apa yang membuat organisme itu berbuat.
b.      Agar efektif hukuman harus menimbulkan perilaku yang tidak kompatibel dengan perilaku yang dihukum.
c.       Agar efektif hukuman harus diaplikasikan bersama dengan stimuli yang menimbulkan perilaku yang dihukum.
d.      Jikasyarat 2 dan 3 tidak dipenuhi, hukuman tidak akan efektif atau justru akan memperkuat respon yang tidak diinginkan.
3.      Dorongan
Drives (dorongan) fisiologis merupkan apa yang oleh Guthrie dikatakan maintaining stimuli (stimuli yang mempertahankan) yang menjaga organisme tetap aktif sampai tujuan tercapai. Misalnya, rasa lapar menghasilkan stimuli internal yang terus ada sampai makanan dikonsumsi. Ketika makan diperoleh, maintaining stimuli akan hilang, dan karenanya kondisi yang menstimulasi telah berubah. Tetapi perlu ditekankan bahwa dorongan fisiologis ini hanya salah satu dari sumber stimuli yang mempertahankan . setiap sumber stimuli yang terus berlangsung baik itu eksternal maupun internal  mwnghasilkan stimuli yang mempertahankan.
Disini Guthrie kembali menjelaskan bahwa kebiasaan menggunakan alkohol dan narkoba dengan cara serupa. Misalnya, seorang merasakan ketegangan atau gelisah. Dalam kasus ini ketegangan dan kegelisahan itulah yang menjadi maintaining stimuli. Karenanya, ketika di lain waktu orang merasa tegang dan gelisah, dia akan cenderung minum lagi. Secara bertahap dorongan untuk memakai narkoba atau minuman keras akan muncul diberbagai situasi dan berubah menjadi kecanduan.
4.      Niat
Respons yang dikondisikan ke maintaining stimuli dinamakan intentions (niat). Respons tersebut dinamakan niat karena maintaining stimuli dari dorongan biasanya berlangsung selama periode waktu tertentu (sampai dorongan berkurang). 
Gambarannya, ketika seseorang lapar dan ada roti di dalam kantor, dia akan memakannya. Tetapi jika dia lupa membawa bekal makan siang, dia akan berdiri dari kursi, mengenakan jaket, mencari restoran, dsb. Perilaku yang dipicu oleh maintaining stimuli inilah yang tampak purposive atau intensional (diniatkan).
5.      Transfer Training
Gutrhrie dalam hal ini kurang terlalu berharap. Karena pada dasarnya seseorang akan menunjukkan respons yang sesuai dengan stimuli jika pada kondisi yang sama. Guthrie selalu mengatakan pada mahasiswa universitasnya, jika anda ingin mendapat manfaat terbesar dari studi anda, anda harus berlatih dalam situasi yang persis sama-dalam kursi yang sama-di mana anda akan diuji. Jika anda belajar sesuatu di kamar, tidak ada jaminan pengetahuan yang diperoleh disitu akan ditransfer ke kelas.
Saran Guthrie (Guthrie,1935) adalah selalu mempraktikkan perilaku yang persis sama yang akan diminta kita lakukan nanti,selain itu, kita harus melatihnya dalam kondisi yang persis sama dengan kondisi ketika nanti kita diuji. Gagasan mengenai pemahaman, wawasan dan pemikiran hanya sedikit, atau tidak ada maknanya bagi Guthrie. Satu-satunya hukum belajar adalah hokum kontiguitas, yang menyatakan bahwa ketika dua kejadian terjadi bersamaan, keduanya akan dipelajari.
6.      Formalisasi Teori Guthrie Oleh Voeks
Dalam pernytaan ulang Voeks atas teori Guthrie ada 4 postulat dasar, 8 definisi dan 8 teorema. Postulat itu berusaha meringkaskan banyak prinsip belajar umum dari Guthrie, sedang definisinya berusaha menjelaskan beberapa konsep Guthriean (seperti stimulus, petunjukn, respon dan belajar), teoremanya adalah deduksi dari postulat dan definisi yang dapat di uji secara eksperimental. Voeks menguji sejumlah deduksi dan menemukan sejumlah bukti yang mendukung teorti Guthrie. Sebagaian besar formalisasi Voeks atas teori Guthrie dan riset yang dihasilkannya, terlalu komplek untuk dipaparkan disini. Tetapi 4 postulat Voeks sudah cukup meringkaskan dan menjadi contoh dari formalisasi dari teori Guthrie yng dilakukannya.
Postulat I:Prinsiple of association,(a) setiap pola stimulus yang pernah mengirimi satu respon, dan atau muncul lebih awal setelah detik atau kurang, akan menjadi petunjuk langsung yang kuat untuk respon itu. (b) ini adalah salah satunya cara di mana pola stimulus yang bukan petunjuk untuk respon tertentu menjadi petunjuk langsung untuk respon itu ( Voeks, 1950, h. 342) .
Postulat  II : Prinsiple of Postremity, (a) suatu stimulus yang mengiringi atau mendahului dua atau lebih respon yang tidak kompatibel adalah stimulus yang dikondisikan hanya untuk respon terakhir yang diberi saat stimulus itu masih ada.(b) ini adalah satu-satunya cara dimana stimulus yang merupakan petunjuk untuk respon tertentu kini tidak lagi menjadi petunjuk bagi respon itu ( Voeks, 1950, h. 344).
Postulat III : Prinsiple of Response Probability : Probabilitas dari kejadian respon tertentu pada waktu tertentu merupakan suatu fungsi dari proporsi kehadiran stimuli yang adalah petunjuk bagi respon pada waktu itu. (Voeks, 1950, h.348).
Postulah IV :Prinsiple of Dynamic Situations. Pola stimulus dari suatu situasi tidaklah statis tetapi dimodifikasi dari waktu kewaktu karena ada perubahan dari respon yang diberikan subjek, akumulasi kelelahan, perubahan reaksi dan proses internal lainnya didalam subjek, serta karena kadirnya variasi terkontrol dan tak terkontrol dalam stimuli yang ada saat itu ( Voeks ,1950, h. 350).
Pembaca tidak boleh menyimpulkan bahwa teori belajar Guthrie hanya menarik secara historis. Seperti yang akan kita diskusikan nanti, saat kita membahas Villiam K.Estes, salah satu trend dalam teori belajar modern adalah mengarang kepenggunaan model matematika dalam menjelaskan proses belajar. Teori belajar Guthrie adalah teori yang member basis untuk model matematika untuk teori belajar awal dan masih tetap berada di jantung dari sebagaian besar teori belajar modern.
H.    Forgotten
Menurut Guthrie faktor lupa terjadi ketika adanya alternatif respon yang ada pada struktur stimuli. Setelah sebuah struktur stimuli dihasilkan oleh alternatif respon maka struktur tersebut akan cenderung membawa respon baru yang menghambat. Oleh sebab itu melibatkan new learning (pembelajaran yang baru). Jadi menurut Guthrie, lupa pasti melibatkan proses belajar baru. Ini adalah bentuk retroactive inhibition (hambatan retroaktif) yang ekstrem, yakni fakta bahwa proses belajar lama diintervensi oleh proses belajar baru. Untuk menunjukkan hambatan retroaktif, contohnya sebagai berikut: Seseorang yang belajar tugas A dan kemudian belajar tugas B lalu diuji untuk tugas A. satu orang lainnya belajar tugas A, tetapi tidak belajar tugas B, dan kemudian diuji pada tugas A. secara umum akan ditemukan bahwa orang pertama mengingat tugas A lebih sedikit ketimbang orang kedua. Jadi, tampak bahwa mempelajari hal baru (tugas B) telah mencampuri retensi dari apa yang dipelajari sebelumnya (tugas A ) (Hergenhahn dan Olson, 2008)..
Guthrie menerima bentuk hambatan retroaktif ektrim ini. Pendapatnya adalah bahwa setiap kali mempelajari hal yang baru, maka proses itu akan menghambat sesuatu yang lama. Dengan kata lain, lupa disebabkan oleh intervensi. Tak ada intervensi, maka lupa tidak akan terjadi. Contoh konkritnya misalnya seseorang ketika diperintahkan untuk mempelajari bahasa, lalu mempelajari matematika, kemudian di tes kembali dengan bahasa, sementara orang lain hanya disuruh mempelajari matematika, setelah itu juga di tes lagi tentang bahasa, maka orang pertama yang dites tentang bahasa dan matematika akan mengingat lebih sedikit tentang bahasa jika dibandingkan dengan orang kedua yang hanya mempelajari sesuatu yang baru (tugas matematika) akan menghambat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya (tugas bahasa) (Hergenhahn dan Olson, 2008)..

Daftar Pustaka
Hergenhahn, BR dan Matthew H. Olson. 2008. Theories of learning. Jakarta : kencana
 
© Copyright 2010 _Fahri kurniawan_
Theme by Fahri Kurniawan