"Selamat Datang Di Fahriikurniiawan.blogspot.com,,,Mari Berbagi Inspirasi dan Pengalaman"

Senin, 10 Juni 2013

KEPERCAYAAN EKONOMI DALAM GREBEG KRATON YOGYAKARTA

A.  Latar Belakang
Garebeg atau gerbeg berasal dari bahasa Jawa yang bermakna “suara angin menderu”. Sedangkan kata hanggarebeg memiliki makna “mengiring raja, pembesar, atau pengantin” (Soelarto, 1980: 27). Sedangkan kata Garebeg di Kraton Yogyakarta mempunyai makna khusus yaitu upacara kerajaan yang diselenggarakan untuk keselamatan Negara (wilujengannegari), yaitu berupa keluarnya gunungan dari kraton untuk diperebutkan oleh para pengunjung sebagai kucahdalem (sedekah raja) untuk rakyatnya.
Upacara Grebeg di Yogyakarta dipercaya telah dilaksanakan sejak zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Upacara Garebeg yang dilaksanakan oleh Kraton Yogyakarta terdiri dari tiga macam yaitu, Garebeg Mulud untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, Garebeg Syawal untuk merayakan hari raya Idul Fitri, dan Garebeg Besar untuk merayakan hari raya Idul Adha.
Pelaksanaan Upacara Grebeg dianggap sebagai wujud atau simbol kemurahan dan perlindungan raja terhadap kawulanya. Simbol itu diwujudkan dengan perarakan gunungan yang dikawal kesatuan-kesatuan prajurit kertaon yang disebut bregada. Gunungan yang diarak dari Pagelaran Keraton ini merupakan simbolisasi dari kemurahan hati raja kepada kawulanya atau dalam bahasa Jawa disebut juga sebagai simbol kekucah dalem. Dalam hal ini raja digambarkan sebagai sosok yang mengayomi, mengayemi, dan mengenyangkan kawulanya. Pada acara Grebeg kali ini gunungan dan ubarampenya diperebutkan di tiga tempat, yakni halaman Kantor Gubernur DIY (kepatihan), halaman Pura Paku Alaman, dan halaman Masjid Agung Kauman. Selain dianggap sebagai simbol keberkahan, Garebeg yang diselenggarakan sejak dulu hingga sekarang ini juga tidak dapat dilepaskan dengan masalah ekonomi dan bisnis pariwisata pemerintah Yogyakarta. Prosesi grebeg dapat dijadikan salah satu bisnis pariwisata karena dengan Upacara Garebeg tersebut diharapkan akan dapat mendatangkan banyak wisatawan, salah satunya  yang berkunjung ke acara Sekaten. Dengan demikian, pemerintah kota akan memperoleh pemasukan (in come) dari acara tersebut.

B.  Gerebeg
Garebeg atau gerbeg berasal dari bahasa Jawa yang bermakna “suara angin menderu”. Sedangkan kata hanggarebeg memiliki makna “mengiring raja, pembesar, atau pengantin” (Soelarto, 1980: 27). Kata Garebeg di Kraton Yogyakarta mempunyai makna khusus yaitu upacara kerajaan yang diselenggarakan untuk keselamatan Negara (wilujengannegari), yaitu berupa keluarnya gunungan dari kraton untuk diperebutkan oleh para pengunjung sebagai kucahdalem (sedekah raja) untuk rakyatnya.

C.  Macam-macam garebeg
1.    Garebeg pasa
Upacara Garebeg pasa diselenggarakan pada setiap tanggal 1 Sawal/Syawwal, dan puncak acaranya setelah pelaksanaan pelaksanaa Shalat Idhul Fitri. Garebeg pasa dimaksudkan untuk memperingati Lailah al-Qadr (malam kemuliaan), yaitu malam diturunkannya Kitab Suci Al-Qur’an yang pertama kali. Pada Garebeg ini, keraton mengeluarkna satu gunungan saja, yaitu GununganKakung.
2.    Garebeg besar
Garebeg besar yang dirayakan pada setiap tanggal 10 Besar/ Zu al-Hijjah, bertujuan untuk merayakan Idul Adha. Pada Garebeg ini, keraton mengeluarkan lima jenis gunungan, yaitu Gunungan Kakung, Gunungan Putri, Gunungan Dharat, Gunungan Pawuhan, dan Gunjungan Gepak.
3.    Garebeg mulud
Garebeg mulud dimaksudkan untuk memperingati hari maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Mulud/ Rabi’ulAwwal. Biasanya mereka menghidangkan nasi tumpeng, dan tujuannya adalah untuk memetik hikmah (pelajaran) yang terdapat pada diri nabi Muhammad SAW., di antaranya adalah sifat-sifat yang baik (al-akhlak al-karimah)

D.  Urutan/Tata Cara Ritual
Urutan/tata cara ritual dalam penyelenggaraan Upacara Garebeg terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:
1.    Tahap Persiapan
Dalam penyelenggaraan Upacara Garebeg terdiri dari dua tahap yaitu persiapan fisik dan non fisik. Persiapan fisik dalam bentuk benda-benda dan perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upacara, sedangkan non fisik berwujud sikap dan perbuatan yang harus dilakukan pada waktu sebelum pelaksanaan upacara.
Adapun persiapan yang berwujud fisik, yaitu berwujud benda-benda dan perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan dalampenyelenggaraan upacara. Benda-benda tersebut adalah:
a.    Gunungan beserta segala perlengkapannya
b.    Benda-benda upacara
c.    Benda-benda pusaka kraton
d.   Perlengkapan para prajurit
Sejak sebelum menjelang Upacara Garebeg, para abdi dalem yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan diri, terutama mempersiapkan mental mereka untuk mengemban tugas yang dianggap sakral tersebut. Untuk itu mereka harus menyucikan diri dengan melakukan puasa dan siram jamas. Perayaan Upacara Garebeg melibatkan seluruh warga kraton dan segenap aparat kerajaan dari yang berpangkat tinggi sampai yang rendah.

2.    Tahap Pembuatan Gunungan
Sebelum acara pembuatan gunungan dimulai, terlebih dahulu diadakan selamatan untuk memohon kepada Tuhan agar semua tugas dapat terlaksana dengan baik dari awal sampai akhir. Selamatan tersebut berupa nasi gurih, lengkap dengan lauk pauknya seperti daging ayam, pecel, sambel goreng, dan bermacam-macam gorengan seperti rempeyek, kerupuk, dan tempe goreng ditambah ketan, kolak, dan apem. Setelah diadakan selamatan, baru pembuatan makanan untuk perlengkapan gunungan mulai dikerjakan.Untuk upacara gerebeg yang membutuhkan gunungan putri (pada gerebeg mulud dan gerebeg besar) sebelum membuat gunungan terlebih dahulu diadakan upacara “numpak wajik”. “wajik” adalah sejenis kue dari bahan ketan yang akan digunakan sebagai landasan dalam membuat ‘gunungan putri’.

E.  Anatomi gunungan
1.    Gunungan Kakung mirip dengan gunungan sesungguhnya, karena bentuknya seperti kerucut, yang bagian bawahnya lebih besar daripada bagian atasnya. Pada bagian puncak yang disebut mustoko (kepala) ditancapi kue terbuat dari tepung beras yang disebut baderan.
2.    Gunungan Putri berbentuk menyerupai bokor. Bagian bawah memiliki bangun yang lebih kecil daripada bagian tengah. Sedang bagian tengah ke puncak memiliki bangun yang semakin mengecil, seperti gunung yang bagian puncaknya tidak terlalu lancip
3.    Gunungan Dharat, Pawuhan, dan Gepak. Uraian ketiga gunungan dijadikan satu karena isi dan hiasan ketiga gunungan tersebut tidak sebanyak gunungan Kakung dan Gunungan Putri. Gunungan Dharat bentuknya menyerupai gunugan putri. Bagian puncaknya berhamparkan kue besar berbentuk lempengan warna hitam, sekelilingnya ditancapi sejumlah besar kue ketan berbentuk lidah yang disebut ilat-ilatan. Gunungan pawuhan bentuknya hampir sama dengan gunungan dharat, hanya tidak memiliki mustaka. Sebagai penggantinya diletakkan beberapa mata uang logam yang terbuat dari timah putih, yang dirantai dengan. Gunungan Gepaktidak merupakan sebuah gunungan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan deretan tonjolan-tonjolan tumpul (gepak) dari 40 buah keranjang berisi aneka macam kue kecil-kecil.
4.      Gunungan Brama / Gunungan Kutuq bentuknya mirip dengan gunungan putri, namun pada bagian puncak diberi lobang untuk tempat sebuah anglo dengan bara arang yang membakar segumpal besar kemenyan hingga teru-menerus mengepulkan asap tebal.

F.   Nilai filosofis gunungan
Secara filosofis, gunungan memiliki nilai-nilai berikut:
1.    Gunung sebagai patok dunia, yang mengandung arti bahwa dengan adanya gunung, dunia tidak akan goncang ( stabil). Disamping itu gunungan merupakan meeium yang menghubungkan antara diri manusia dengan yang supranatural agar keselamatan hidup didunia dan akhirat dapattercapai.
2.    Gunung (merapi) mengandung hubungan imaginer dengan segara kidul (laut swlatan). Adanya garis lurus yang jika ditarik dari gunung merapi ke laut selatan, melalui bangunan-bangun yang secara filosofis memiliki makna tersendiri, seperti tugu, kraton, dan krapyak. Dari sini tampak bahwa keraton yogyakarta merupakan salah satu keraton di jawa yang bersifat kosmis, tetapi kosmis yang islami. Disamping itu, laut selatan dan gunung merapi mengandung arti bahwa dalam memegang kekuasaan, sultan masih memerlukan para penjaga yang menetap di segara kidul/laut selatan, yaitu kanjeng ratu kidul; dan yang menetap digunung yaitu sunan merapi, sunan lawu, dan semar
3.    Pada dahulu, dalam prosesi ritual gunungan terdapat empat tema dasar yang serupa dengan tema dasar selametan dan tradisi meditasi. Keempat tema dasar tersebut adalah raja(sultan) yang bermeditasi; prosesi gunungan dan tembakan salvo diantara gunungan kakung dan gunungan putri; pembacaan mantra (doa); dan perebutan benda-benda yang ada di gunungan. Bangunan sitiinggil mewakili pusat alam semesta. Jadi, tatkala bermeditasi, sebetulnya sultan sedang melambangakan posisi transendental Tuhan, diluar ilusi kosmik (nirwana). Tatkala sultan bermeditasi, dapat disamakan dengan mustaka (kepala) gunungan kakung, sebagai formula pembelajaran. Tujuannya adalah untuk meraih manunggaling kawula gusti. Dalam ritual, penyatuhan abdi dengan Tuhan telah terwakili oleh sultan yang bermeditasi yang dikelilingi oleh para pangeran, keluarga istana, dan para abdi dalem. Jadi, setelah sultan selesai melaksanakan meditasi dan kembali ke istana, prosesi gunungan pun dimulai

G. Kepercayaan Ekonomi Masyarakat pada Garebeg Kraton Yogyakarta
Upacara Garebeg yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta memiliki arti penting bagi masyarakat sekitar, khususnya masyarakat Yogyakarta. MasyarakatsekitarmempercayaigununganUpacaraGarebegakanmendatangkankeberkahanbagi yang dapatmengambilsebagiangunungan.Kepercayaan demikian disebabkan oleh karena gunungan tersebut dibuat dengan disertai doa-doa. Bahkan doa resminya dilakukan oleh ulama yang ditunjuk keraton. Sehinggamasyarakat rela menunggu Upacara Garebeg untuk berebut isi gunungan ini. Istilahnya adalah "ngalap berkah" atau mencari berkah dengan mendapatkan isi gunungan. Kepercayaan yang ada jika mendapat isi gunungan akan mendatangkan anugerah dan kesejahteraan dalam hidupnya, sertamendapatkanberkah, seperti kemudahan memperoleh rezeki dan ketenteraman dalam berumah tangga.
Sebagian mereka percaya bahwa ubarampe yang terdapat di gunungan akan memberikan berkah tertentu bagi mereka. Bagi yang memiliki profesi dagang mereka percaya bahwa dengan demikian dagangan mereka akan laris. Demikian pula jika yang memperebutkan adalah seorang petani, maka mereka percaya bahwa tanaman mereka akan menghasilkan panenan yang baik serta tanah pertaniannya subur. Sedangkan bagi yang masih bujangan mereka percaya bahwa mereka akan cepat menemukan jodoh, dan sebagainya. (http://ilmicintaindonesia.blogspot.com/2012/03/upacara-grebeg-maulud-keraton.html).

Antusiasme masyarakat dalam menyambut perarakan gunungan tersebut pada sisi lain menjadi daya tarik wisata yang tentu saja berimplikasi pada pemasukan devisa dan menjadi motor bagi pergerakan ekonomi di lokasi yang bersangkutan. Tidak mengherankan juga jika prosesi ini dikemas dan disatukan dengan berbagai kegiatan lain semacam PMPS yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha ekonominya. Bahkan untuk berbagai ajang sosialisasi program atau produk termasuk kreasi seni.
Dengan bisnis pariwisata yang telah disebutkan di atas, diharaokan banyak wisata yang berkunjung ke sekaten. Dengan demikian, pemerintah kota memperoleh pemasukan (in come), di antaranya dari tiket  masuk ke area sekaten. Dari segi ekonomi, pemerintah kota diuntungkan dengan adanya sewa tanah alun-alun dan juga pajak dari pada pedagang yang mendirikan stand/kios/warung sebagai sarana perdagangan. Dengan demikian, banyak di antara mereka yang menyempatkan untuk memperomosikan hasil produksi mereka, bahkan terjadi transaksi perdagangan di antara mereka. Wajar, apabila di antara mereka juga membeli barang-barnagyang biasanya harganya relatif lebih murah jika dibanding dengan harga barang-barang di toko.
Barang-barang yang dijual pun bervariasi, dari yang tradisional sampai yang paling modern. Di samping sebagai sarana jual  beli, arena tersebut juga dipergunakan sebagai ajang promosi, baik oleh perusahaan milik pemerintah maupun perusahaan milik swasta.

Daftar pustaka
Suyami. (2008).Upacara Ritual Di Keraton Jogja. ).ogyakarta: Kepel Press.
Yusuf, Mundzirin. (2009). Makna dan Fungsi Gunungan pada Upacara Garebeg di Kraton Ngayogyakarta Hardiningrat. Yogyakarta: CV. Amanah.

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2010 _Fahri kurniawan_
Theme by Fahri Kurniawan