Masa remaja adalah masa transisi, dimana pada masa – masa seperti ini sering terjadi ketidakstabilan baik itu emosi maupun kejiwaan. Pada masa transisi ini juga remaja sedang mencari jati diri sebagai seorang remaja. Walaupun saat ini masih terdapat beragam interpretasi tentang definisi remaja, seperti definisi menurut BKKBN bahwa seseorang dikatakan remaja yaitu antara usia 14-20 tahun,.
namun setidaknya kita dapat melihat standarisasi seseorang dikatakan remaja, diantaranya ditandai dengan perkembangan, baik fisik, psikologis, dan sosial. Perkembangan secara fisik ditandai dengan makin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ reproduksi. Secara sosial perkembangan ini ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan dengan orang tuanya, sehingga remaja biasanya akan semakin mengenal komunitas luar dengan jalan interaksi sosial yang dilakukannya di sekolah, pergaulan dengan sebaya maupun masyarakat luas. Pada masa ini pula, ketertarikan dengan lawan jenis juga mulai muncul dan berkembang. Rasa ketertarikan pada remaja lalu dimunculkan dalam bentuk (misalnya) berpacaran di antara mereka. Berpacaran berarti upaya untuk mencari seorang teman dekat dan di dalamnya terdapat hubungan mengkomunikasikan kepada pasangan, membangun kedekatan emosi, dan proses pendewasaan kepribadian. Kemudian berpacaran biasanya dimulai dengan membuat janji, datang lalu bikin komitment tertentu dan bila di antara remaja ada kecocokan, maka akan dilanjutkan dengan berpacaran
Disinilah mulai muncul problematika yang dihadapi remaja, diantaranya soal jati diri remaja itu sendiri. Proses pencarian inilah yang terkadang dimanfaatkan oleh para kapitalisme dengan menyajikan tontonan atau budaya yang bukan membantu remaja dalam upaya menemukan jati diri remaja akan tetapi justru malah sebaliknya, mereka para kaum kapitalis menjerumuskan remaja kedalam hal negatif karena orientasi mereka adalah keuntungan materi. Fakta ini bisa dilihat dari berbagai penelitian, disana banyak sekali temuan – temuan yang membuat kita semua cukup prihatin. Seperti yang akan penulis kutip dari hasil penelitian beberapa lembaga terkait soal remaja.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Baseline Survei Lentera-Sahaja PKBI Yogyakarta memperlihatkan, perilaku seksual remaja mencakup kegiatan mulai dari berpegangan tangan, barpelukan, berciuman, necking, petting, hubungan seksual, sampai dengan hubungan seksual dengan banyak orang. Dari berbagai penelitian menunjukkan, perilaku seksual pada remaja ini mempunyai korelasi dengan sikap remaja terhadap seksualitas. Penelitian Sahabat Remaja tentang perilaku seksual di empat kota menunjukkan, 3,6 persen remaja di Kota Medan; 8,5 persen remaja di Kota Yogyakarta, 3,4 persen remaja di Kota Surabaya, serta 31,1 persen remaja di Kota Kupang telah terlibat hubungan seks secara aktif. Penelitian yang pernah dilakukan Pusat Penelitian Kependudukan UGM menemukan, 33,5 responden laki-laki di Kota Bali pernah berhubungan seks, sedangkan di desa Bali sebanyak 123,6 persen laki-laki. Di Yogyakarta kota sebanyak 15,5 persen sedangkan di desa sebanyak 0,5 persen.
Cukup mengaggetkan memang, tapi itulah fakta yang ada. Itu baru penelitian di daerah yang selama ini kenal kota pelajar yang notebene secara akal harusnya lebih terkendali tapi justru malah sebaliknya. Selain itu, perkembangan zaman juga akan mempengaruhi perilaku seksual dalam berpacaran para remaja.. Hal ini, misalnya, dapat dilihat bahwa hal-hal yang-ditabukan remaja pada beberapa tahun lalu seperti berciuman dan bercumbu, kini sudah dibenarkan remaja. Bahkan ada sebagian kecil dari mereka setuju dengan free . Perubahan terhadap nilai ini, misalnya, terjadi dengan pandangan remaja terhadap hubungan seks sebelum menikah. Dua puluh tahun lalu hanya 1,2 persen, 9,6 persen setuju hubungan seks sebelum menikah. Sepuluh-tahun kemudian angka itu naik menjadi di atas 10 persen. Lima tahun kemudian angka ini naik menjadi 17 persen setuju. Bahkan ada remaja sebanyak 12,2 persen yang setuju free .
Sementara itu kasus-kasus kehamilan yang tidak dikehendaki sebagai akibat perilaku seksual di kalangan remaja juga mulai meningkat dari tahun ke tahun. Meski sulit diketahui pasti, di Indonesia angka kehamilan sebelum menikah, tetapi dari berbagai penelitian tentang perilaku seksual remaja, menyatakan tentang besarnya angka kehamilan remaja. Catatan konseling remaja menunjukkan, kasus kehamilan yang tidak dikehendaki pada tahun 1998/1999 tercatat sebesar 113 kasus. Beberapa hal ini menarik berkaitan dengan catatan itu misalnya hubungan seks pertama kali biasanya dilakukan dengan pacar (71 persen), teman biasa (3,5 persen), suami (3,5 persen); inisiatif hubungan seks dengan pasangan (39,8 persen), klien (9,7 persen), keduanya (11,5 persen); keputusan melakukan hubungan seks: tidak direncanakan (45 persen), direncanakan (20,4 persen) dan tempat yang biasa digunakan untuk melakukan hubungan seks adalah rumah (25,7 persen) hotel (13,3 persen). Konsekuensi dari kehamilan remaja ini adalah pernikahan remaja dan pengguguran kandungan. Hasil penelitian PKBI beberapa waktu lalu menunjukkan, di Medan, Jakarta Yogyakarta, Surabaya, Bali, dan Manado, angka kehamilan sebelum nikah pada remaja dan yang mencari pertolongan untuk digugurkan meningkat dari tahun ke tahun. Sebuah perkiraan yang dibuat sebuah harian menunjukkan, setiap tahun satu juta perempuan Indonesia melakukan pengguguran besarnya angka kehamilan remaja. dan 50 persen berstatus belum menikah serta 10-15 persen di antaranya remaja. Upaya pendampingan dari orangtua dan lembaga yang peduli kepada remaja adalah sebuah hal yang mesti dilakukan, dan tentu saja pendampingan yang bersahabat, dan berpihak kepada remaja itu sendiri.
Itu baru kita lihat dari sisi problematika biologisnya, belum lagi soal kebimbangan menentukan arah hidup remaja itu sendiri. Setidaknya data dan fakta di atas menjadi bahan perenungan kita bersama, bahwa ternyata persoalan remaja ini tidak bisa dianggap enteng, tapi harus mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, para orang tua dan lembaga yang peduli akan remaja. Belum lagi kalau kita bicara soal remaja yang terkena Narkoba, seperti data yang penulis ambil dari Badan Narkotika Nasional, pada tahun 1999 – 2003 jumlah tersangka kasus narkoba yang berusia 16 – 19 tahun mencapai 2.186 kasus, usia 21 – 24 mencapai 6.845 kasus. Lalu bagaimana dengan remaja Banten...? itulah yang akan menjadi kajian kami di Lembaga Swadaya Masyarakat BeST Institut sebagai sebuah lembaga yang peduli akan masa depan remaja di Banten dan Indonesia pada umumnya.
Berbagai macam latar dan alasan yang sering diungkapkan oleh para remaja kenapa mereka terjerumus kedalam free dan narkoba atau tindakan negatif lainnya, adalah Broken Home, pergaulan dan pengaruh media. Ketiga faktor itulah yang n menjadi alasan mereka. Disinilah pentingnya para orang tua untuk menciptakan nuansa keluarga yang penuh kasih sayang dan penuh perhatian kepada anak – anak mereka, sering banyak ditemukan orang tua yang menganggap bahwa anak – anak mereka adalah hasil cipta mereka atau milik mereka, sehingga mereka berhak untuk memperlakukan si anak sesuka hatinya, ini pandangan yang keliru. Anak adalah amanah dari Tuhan yang harus kita bertanggung jawabkan kepada sang pemilik yaitu Allah SWT, dan anak juga memiliki hak. Inilah yang menyebabkan si anak menjadi korban dari para orang tua yang tidak bertanggung jawab.
Faktor pergaulan ini juga sangat rentan, sebagaimana perubahan remaja, bahwa ketika seorang anak sudah menginjak usia remaja, maka waktunya akan lebih banyak digunakan untuk berinteraksi dengan orang luar. Kalau kita rentet sirkulasi kehidupan remaja dalam kesehariannya. Katakanlah mereka bangun tidur jam 4 pagi, selesai bangun shalat dan belajar, jam 6.30 mereka sudah berangkat ke sekolah, selesai sekolah jam 2 siang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan eskul belum lagi kalau mengikuti kursus. Berapa jam waktu mereka untuk kumpul dengan keluarga..? sangat terbatas bukan. Pergaulan ini tidak akan biasa saja manakala mereka menemukan komunitas pergaulan yang dapat menunjang pengembangan diri mereka kehal yang positif, namun akan berbahaya tatkala mereka menemukan komunitas hura – hura dan tongkrongan yang negatif. Efeknya adalah pada prestasi mereka dan pola hidup yang mereka jalani.Bahkan Marisa Haque pernah mengatakan dalam acara dialog di salah satu TV Swasta, bahwa pengaruh lingkungan itu 70% mempengaruhi kepribadian dan tingkah laku seseorang. Luar biasa memang pengaruh lingkungan, maka dari itu sudah semestinya kita harus mampu mengontrol dan memberikan arahan kepada para remaja untuk memilih lingkungan yang baik dan dapat menunjang prestasinya.
Media juga memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk karakter masyarakat kita, terutama kalangan remaja yang masih ”plin plan” dalam kepribadian. Tayangan TV yang hedonis, individualis dan materialis telah sedemikian kuatnya masuk kedalam kepribadian remaja kita, sehingga sering kita temukan remaja kita yang mengikuti dari idola mereka yang mereka lihat di TV, baik itu melalui film sinteron, iklan ataupun tayang tv lainnya yang menurut mereka cocok dengan mereka. Ini tidak akan menjadi sebuah persoalan manakala yang menjadi idola mereka adalah orang – orang yang memang layak untuk dijadikan idola, tapi fkata di lapangan tidaklah demikian, karena biasanya yang dijadikan idolah mereka adalah pada bentuk fisik, seperti cantik, ganteng, maco dan lain sebagainya, bukan kepada sikap dan kepribadiannya. Ini juga menjadi masalah serius remaja kita, artinya kalau kemudian tayangan tv yang negatif menjadi karakter para remaja kita, maka kita tinggal menunggu masa depan bangsa ini diambang kehancuran terutama pada sisi moralitasnya, dan ini berbahaya untuk keberlangsungan kemajuan bangsa Indonesia.
Melihat data dan fakta di atas setidaknya ada beberapa hal yang mesti kita lakukan baik itu para orang tua, pemerintah dan lembaga yang peduli akan nasib remaja kita. Pertama, Hendaknya kita senantiasa melindungi mereka dengan cara memberikan perhatian yang tulus dan ikhlas tanpa harus bersikap keras dan kasar. Diharapkan dari perlindungan seperti ini mereka akan merasa tidak sendiri akan tetapi justru mereka akan merasa ada tempat curhat mereka yaitu diri kita, diri kita yang penulis maksud adalah para orang tua dan segenap keluarga, baik kakak, adik dan lain sebaginya ataupun insititusi, dan ini sangat bermanfaat terutama dalam membentuk kepribadian remaja.
Kedua, berikan pembekalan spiritual untuk mereka melalui kegiatan – kegiatan keagamaan yang metode dan polanya tidak membosankan, kenapa penulis katakan demikian, karena ternyata remaja lebih suka sesuatu yang sifatnya bersenang – senang, nah disini kita para juru spiritual dituntut untuk kreatif dalam mengemas acara – acara keagamaan sehingga para remaja tidak merasa digurui dan tidak boring. Hal ini akan menimbulkan kesukaan remaja untuk konsisten mengikuti acara tersebut, dari pembekalan nilai spiritual inilah mereka akan menjadi remaja yang memiliki imun atau kekebalan dalam menghadapi pengaruh – pengaruh yang negatif. Akhirnya penulis mengajak kepada seluruh elemen untuk perhatian pada persoalan remaja sehingga masa depan mereka dan masa depan bangsa Indonesia akan lebih baik, amin. Wallahu alam.
0 komentar:
Posting Komentar