DRAFT
PAPER PERSPEKTIF HUMANISTIK-EKSISTENSIAL DALAM MEMAHAMI
PERILAKU
ABNORMAL
Disusun untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Psikologi Abnormal
Dosen Pengampu : Sara
Palila, S. Psi., Psi., M.A
Disusun oleh :
Mauizatul Jannah
(10710010) Wiji Catur Wulandari
(10710040)
Eka Mulyani
(10710020) Naufil
Istighfari (10710045)
Gathit
Puspitasari (10710023) Nur Rofingah
(10710078)
Fahri Kurniawan
(10710036) Siti Maysaroh
(107100198)
Febri Fajarini
(10710030) Shinta Putri
Megawati (10710103)
PROGRAM
STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB
1
PENDAHULUAN
Abnormal adalah
perilaku yang menyimpang dari normal. Terdapat banyak konsepsi mengenai
abnormalitas menurut tinjauan tertentu. Aliran humanistik yang merupakan aliran
ketiga seteleh psikodinamika dan behavioristik. Dimana aliran humanistik ini
sangat menentang kedua aliran sebelumnya tersebut. Meskipun memiliki pandangan
yang berbeda, tetapi aliran ini berpijak pada konsepsi fundamental yang sama
mengenai manusia, yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yaitu
eksistensialisme. Manusia, menurut eksistensialisme adalah hal yang
mendalam-dalam dunia (being-in-the-world),
dan menyadari penuh akan keberadaannya. Eksistensialisme menolak paham yang
menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan.
Sebaliknya, para filsuf eksistensialisme percaya bahwa setiap individu memiliki
kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasibnya, serta
bertanggungjawab atas pilihan dan keberadaannya.
Pemikiran yang
optimisik dari humanistik ini bertolak dari pengandaian bahwa manusia pada
dasarnya dilahirkan baik. Tingkah laku manusia dengan sadar, bebas dan
bertanggungjawab dibimbing oleh daya-daya yang positif yang berasal dari dalam
dirinya sendiri ke arah pemekaran seluruh potensi manusiawinya secara penuh. Agar
berkembang ke arah positif, manusia tidak pertama-tama membutuhkan pengarahan
melainkan sekedar pendampingan personal serta penerimaan dan penghargaan demi
berkembangnya potensi positif yang melekat pada dirinya. Lantas bagaimana bisa
individu menjadi abnormal? Di sini akan dibahas beberapa pandangan mengenai
perilaku abnormal menurut para tokoh humanistik beserta dengan terapi atau
proses penyembuhan.
BAB
II
ISI
A. Perspektif
Humanistik-Eksistensial dalam Memahami Perilaku Abnormal
Pusat dari perspektif humanistik adalah
keyakinan bahwa motivasi manusia didasarkan pada suatu tendensi bawaan untuk
pencarian pemenuhan diri dan arti dalam hidup. Menurut teori kepribadian
humanistik, seseorang termotivasi oleh kebutuhan untuk memahami diri mereka dan
dunia serta untuk mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dengan cara memenuhi
potensi unik mereka. Secara umum perilaku abnormal menurut humanistik adalah
saat Konsep self yg terganggu
Menurut pendekatan humanistik, penyebab
gangguan prilaku adalah terhambat atau terdistorikannya perkembangan pribadi
dan kecenderungan wajar arah kesehatan fisik dan mental. Hambatan ini bersumber
dari:
1.
Penggunaan mekanisme
pertahanan diri yang berlebihan.
2. Kondisi sosial yang tidak menguntungkan.
3. Stres yang berlebihan.
Menurut pendekatan ini, tujuan psikoterapi
adalah menolong individu meninggalkan benteng-benteng pertahanan diri dan
belajar mengakui dan menerima pengalaman sejati mereka, belajar mengembangkan
bentuk kompetensi yang diperlukan dan menemukan nilai-nilai hidup. Sedangkan,
menurut pendekatan eksistensial, manusia modern terjebak dalam situasi hidup
tidak menyenangkan yang merupakan buah pahit dari modernisasi yang berupa
melemahnya nilai-nilai tradisional, krisis iman, hilangnya pengakuan atas
individu sebagai pribadi akibat berubahnya masyarakat ke arah biokratik. Situasi
ini membuat orang merasa kosong hidupnya, merasa serba cemas, dan akhirnya
terperosok kedalam psikopatologi. Maka, menurut model eksistensial, tujuan
psikoterapi adalah menolong orang menjernihkan nilai hidupnya dan membuat hidup
lebih bermakna.
B. Pandangan Terhadap
perilaku Abnormal
Maslow menyatakan bahwa pribadi yang
normal dengan jiwa yang sehat ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
(Kartono, 2000)
a.
Memiliki rasa aman yang
tepat.
b.
Memiliki penilaian diri
dan wawasan yang rasional.
c.
Memiliki spontanitas
dan emosional yang tepat.
d.
Memiliki kontak dengan
realitas secara efisien.
e.
Memiliki
dorongan-dorongan dan nafsu-nafsu yang sehat.
f.
Memiliki pengetahuan
mengenai dirinya secara objektif.
g.
Memiliki tujuan hidup
yang adekuat, tujuan hidup yang realitistis yang didukung oleh potensi.
h.
Mampu belajar dari
pengalaman hidupnya.
i.
Sanggup untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan kelompok.
Dari uraian di atas, maka dapat
diketahui pula ciri-ciri orang yang berperilaku abnormal. Maslow berpendapat
apabila manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, maka ia akan mengalami
gangguan jiwa.
Sedang Menurut Rogers, perilaku abnormal
adalah hasil dari perkembangan konsep tentang self yang terganggu. Apabila
orang tua menunjukan pada anak tentang conditional positive regard, orang tua
akan menerima mereka apabila mereka berperilaku dengan cara yang disetujui,
anak-anak mungkin belajar untuk tidak memiliki pikiran, perasaan dan perilaku
yang ditolak oleh orang tua mereka. Dengan conditional positive regard,
anak-anak mungkin belajar untuk mengembangkan kondisi untuk berharga (condition
of worth), untuk berpikir bahwa diri mereka sendiri berharga hanya apabila
mereka berperilaku dengan cara tertentu yang telah disetujui. Dengan contoh, seorang
anak yang dihargai oleh orang tuanya, hanya ketika ia patuh mungkin ia akan
menyangkal pada dirinya sendiri bahwa ia pernah memiliki perasaan marah. Dalam
sebuah kasus dimana ide mereka berbeda dari pandangan-pandangan orang tua
mereka bahkan idenya tersebut tidak dapat diterima oleh orang tuanya.
Ketidaksetujuan orang tuanya itulah membuat mereka memandang diri sendiri
sebagai pemberontak, merasa salah, egois, bahkan jahat. Tetapi, jika mereka
berkeinginan untuk mempertahankan self-esteem, mungkin mereka harus menyangkal
perasaan bersalah mereka. Kemudian mereka akan mengembangkan self-concept atau
pandangan tentang diri mereka sendiri yang terdistorsi dan menjadi orang asing
bagi diri mereka sesungguhnya.
Rogers meyakini bahwa kecemasan mungkin
muncul ketika kita mulai merasakan perasaan dan ide kita tidak konsisten dengan
self-concept terdistorsi yang telah kita kembangkan, yang mencerminkan apa yang
diharapkan orang lain tentang kita. Oleh karena itu kecemasan tidak
menyenangkan kita mungkin menyangkal bahwa ide dan perasaan ini pernah muncul.
Sehingga self-actualization kita yang sesungguhnya menjadi terganggu dengan
penyangkalan terhadap ide dan emosi yang penting. Energi psikologis diarahkan
pada penyangkalan dan self-defense yang berlangsung terus menerus tetapi bukan
kearah pertumbuhan.
Lagi, menurut frankl Perilaku abnormal
terjadi ketika seseorang tidak mampu memaknai hidupnya. Inti dari manusia
adalah pencarian makna dan tujuan hidup. Manusia modern mempunyai banyak cara
untuk hidup tetapi sering tidak punya makna hidup, sehingga keberadaan waktunya
seperti tidak berguna, atau “kekosongan yang nyata.”
C. Patologi
Dalam
humanistik khususnya maslow Orang yang tidak bisa mengaktualisikan diri disebut
abnormal. Dan jika
berbagai meta kebutuhan tidak terpenuhi maka akan terjadi meta patologi
seperti:
a. Apatisme
b.
Kebosanan
c.
Putus asa
d.
Tidak punya rasa humor lagi
e.
Keterasingan
f.
Mementingkan diri sendiri
g. Kehilangan selera.
Menurut
rogers, tidak semua orang bisa menjadi pribadi yang sehat secara psikologis,
karena sebagian besar orang banyak mengalami :
a.
Kondisi
berharga (positive regard) dan evaluasi eksternal
dapat mengarah pada kerapuhan, kecemasan, dan ancaman.
b. Incongruency, berkembang ketika diri organismik dan
diri yang dipahami tidak cocok, ketidakkongruenan antara konsep diri dan
penghayatan organismik adalah sumber gangguan psikologis.semakin besar
ketidakkongruenan antara diri yang kita pahami (konsep diri) dan penghayatan
organismik kita, semakin rapuhlah diri kita.
c. Pertahanan
diri, ketika diri organismik dan diri yang dipahami tidak congruence, manusia
akan menjadi defensive dan menggunakan distorsi untuk penyangkalan sebagai
upaya untuk mereduksi ketidakkongruenan.
d. Disorganisasi,
ketika pertahanan diri gagal beroperasi dengan tepat, perilaku dapat terjadi
tidak terorganisasikan. Sehingga menyebabkan seseorang menjadi rapuh.
Terakhir
menurut Frankl, patologi dalam humanistik dideskripsikan dengan ciri-ciri :
a.
”Frustasi eksistensial”.
Frustasi eksistensial muncul ketika dorongan untuk
hidup bermakna mengalami hambatan. Gejala-gejala dalam frustasi eksistensial
tidak mewujud secara nyata, karena pada umumnya bersifat laten dan terselubung (masked).
Perilaku yang menandai frustasi eksistensial biasanya terungkap dalam berbagai
usaha untuk memperoleh kompensasi besar melalui penyaluran hasrat untuk
berkuasa (the will to power) atau bersenang-senang mencari kenikmatan (the
will to pleasure). Di Negara-negara barat hasrat untuk berkuasa dan
bersenang-senang tercermin dalam perilaku yang obsesif untuk mengumpulkan uang (the
will to money), untuk bekerja (the will to work), dan pelampiasan
hasrat seksual (the will to sex).
Frustasi eksistensial sering ditemukan dalam gejala
neurosis. Untuk neurosis jenis ini, logoterapi menandainya dengan istilah
“neurosis noogenik” yang berbeda dengan neurosis “psikogenik”. Neurosis
noogenik memiliki akarnya tidak dalam dimensi psikologis, tetapi lebih pada
dimensi “noological” (dari bahasa Yunani “noos” yang berarti pikiran atau
spirit) dari eksistensi manusia. Ini adalah istilah dalam Logoterapi yang
merujuk pada sesuatu yang berkaitan dengan sisi spiritual manusia. Namun
hendaknya diingat, dalam frame rujukan Logoterapi istilah “spiritual” tidak
memiliki konotasi utama pada agama, namun kembali secara khusus pada eksistensi
manusia.
b. “Kehampaan eksistensial”.
Kehampaan eksistensil muncul dalam perilaku yang
menunjukkan perasaan serba hampa, gersang, dan kebosanan yang berlebihan.
Menurut Frankl, faktor-faktor yang menyebabkan meluasnya kehampaan eksistensial
adalah dianutnya ideologi-edeologi tentang manusia yang bercorak reduksionistik,
pan-determinisme, serta teori-teori homeostatis. Wawasan-wawasan tersebut
menganggap eksistensi manusia sebagai sistem yang tertutup, atau memandang
manusia dari sudut pandang kemanusiaan yang sub-human, dan dengan demikian
mengembangkan berbagai model manusia yang berpola “rat-model”, “machine model”,
“computer model”, dan sebagainya. Wawasan-wawasan ini mengingkari karaktersitik
khas manusia seperti: kemampuan mentransendensikan diri, kemampuan mengambil
jarak dengan lingkungan dan diri sendiri, kebebasan berkehendak, rasa tannggung
jawab, dan spiritualitas.
c. “Neurosis
noogenik”.
Neurosis noogenik tidak muncul dari arahan konflik
antara Id-Ego-Superego, konflik instingtif, trauma psikis, dan berbagai
kompleks psikis lainnya, akan tetapi muncul dari problematika spiritual.
Neurosis noogenik tidak mengakar pada dimensi psikis manusia, melainkan bersumber
pada dimensi spiritual, sehingga dengan demikian neurosis ini tidak bersifat
psikogen, tetapi spiritual/ noogenik. Frustasi eksistensial dan kehampaan
eksistensial yang menyebabkan terjadinya neurosis jenis ini.
D. Intervensi/ Terapi
Terapi
dalam humanistik ini menurut Maslow lebih menekankan ke pengalaman pribadinya
klien. Dalam hal ini, Maslow mengembangkan terapi interpersonal. Menurut Maslow kepuasan kebutuhan dasar hanya dapat terjadi melalui hubungan
interpersonal, karena itu terapi harus bersifat interpersonal. Suasana terapi
harus melibatkan perasaan saling berterus terang //jujur, saling percaya dan
tidak defense. Suasanan itu juga
mengijinkan klien mengeluarkan ekspresi kekanak-kanakan dan memalukan. Dalam
suasanan yang demokratis terapis harus memberikan klien penghargaan, cinta dan perasaan bahwa klien itu berada dalam alur perkembangan yang
benar. Klien secara umum didorong untuk menampilkan nilai-nilai yang
berhubungan dengan perkembangan positif, berani membuka diri, belajar memahami
lebih lanjut mengenai kompleksitas kehidupan manusia.
Sedang menurut Terapi
humanistik berfokus pada pengalaman klien yang subyektif dan disadari, terapi
humanistik ini juga berfokus pada apa yang dialami klien saat ini, di sini dan
sekarang dari pada masa lalu. Bentuk utama dari terapi humanistic ini adalah
terapi terpusat pada individu (person
centered therapy), disebut juga terapi terpusat pada klien (client centered
therapy).
Rogers (1951) percaya bahwa
orang-orang memiliki kecenderungan motivasional alami kearah pertumbuhan ,
pemenuhan dan kesehatan. Dalam pandangan Rogers, gangguan psikologis berkembang
sebagian besar akibat hambatan yang ditempatkan oleh orang lain dalam
perjalanan kearah self-actualization.
Dengan perjalanan waktu, kita dapat mengembangkan self-concept terdistorsi yang
konsisten dengan pandangan orang lain terhadap kita, tetapi bukan yang dibuat
atau didesain oleh diri sendiri dan sebagai hasilnya kita dapat menjadi kurang
mampu menyesuaikan diri, tidak bahagia, dan bingung tentang siapakah dan apakah
kita ini. Orang-orang yang penyesuaian dirinya baik yang melakukan pilihan dan
bertindak secara konsisten dengan nilai-nilai dan kebutuhan pribadi mereka.
Terapi terpusat individu menciptakan kondisi hangat dan penerimaan dalam
hubungan terapeutik yang membantu klien untuk
menjadi lebih sadar dan menerima diri mereka sendiri.
Terapi terpusat individu
bersifat tidak mengarahkan. Klien bukan terapis yang memimpin dan mengarahkan
jalannya terapi. Terapis menggunakan refleksi, pengulangan atau perumusan
kembali dari perasaan-perasaan yang diekspresikan klien tanpa
menginterpretasikan atau memberikan penilaian. Cara ini mendorong klien untuk
mengeksplorasi lebih jauh perasaannya dan hubungannya dengan perasaan yaqng
lebih dalam dan bagian dari diri yang tidak diakui karena kritikan sosial.
Client centered ini berguna
untuk merefleksikan kepercayaannya bahwa setiap orang pada dasarnya baik dan
bahwa potensi pengembangan diri terletak di dalam diri individu tersebutdan
bukan pada terapis ataupun metode terapi. Terapi ini harus berfokus pada
kebutuhan klien, bukan pada sudut pandang klinisi. Rogers merekomendasikan para
terapis untuk melakukan treatment terhadap klien dengan penerimaan positif
tidak bersyarat (unconditional positif regard). Metode ini melibatkan
penerimaan penuh terhadap apa yang dikatakan, dilakukan dan dirasakan oleh
klien. (Richard, 2010)
Terakhir, Jenis terapi yang
digunakan oleh VicTor Frankl adalah Logotherapy, yaitu terapi melalui makna.
Dimana tujuan dari terapi ini adalah menantang manusia untuk menemukan makna
dan tujuan hidup melalui penderitaan, pekerjaan dan cinta.
Menurut Frankl (2004)
logoterapi berasal dari kata logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti
makna. Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna hidup dalam
hidup seseorang merupakan motivator utama orang tersebut. Logoterapi berusaha
membuat pasien menyadari secara tanggungjawab dirinya dan memberinya kesempatan
untuk memilih, untuk apa, atau kepada siapa dia merasa bertanggungjawab.
Logoterapi tidak menggurui atau
berkotbah melainkan pasien sendiri yang harus memutuskan apakah tugas hidupnya
bertanggung jawab terhadap masyarakat, atau terhadap hati nuraninya sendiri.
Logoterapi memandang manusia
sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi; fisik, psikis, spiritual.
Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus memperhitungkan ketiganya. Selama
ini dimensi spiritual diserahkan pada agama, dan pada gilirannya agama tidak
diajak bicara untuk urusan fisik dan psikilogis. Kedokteran, termasuk psikologi
telah mengabaikan dimensi spiritual sebagai sumber kesehatan dan kebahagiaan
(Jalaluddin Rahmat, 2004).
Menurut Frankl (dalam
Trimardhany, 2003) logoterapi memiliki wawasan mengenai manusia yang
berlandaskan tiga pilar filosofis yang satu dengan lainya erat hubunganya dan
saling menunjang yaitu:
a.
Kebebasan berkehendak (
Freedom of Will )
Dalam
pandangan Logoterapi manusia adalah maKhluk yang istimewa karena mempunyai
kebebasan. Kebebasan di sini bukanlah kebebasan yang mutlak, tetapi kebebasan
yang bertanggungjawab. Kebebasan manusia bukanlah kebebasan dari (freedom from) kondisi-kondisi biologis,
psikologis dan sosiokultural tetapi lebih kepada kebebasan untuk mengambil
sikap ( freedom to take a stand ) atas kondisi-kondisi
tersebut. Kelebihan manusia yang lain adalah kemampuan untuk mengambil jarak ( to detach ) terhadap kondisi di luar
dirinya, bahkan manusia juga mempunyai kemampuan-kemampuan mengambil jarak
terhadap dirinya sendiri ( self
detachment ). Kemampuan-kemampuan inilah yang kemudian membuat manusia
disebut sebagai “ the self deteming being”
yang berarti manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang
dianggap penting dalam hidupnya.
b.
Kehendak Hidup Bermakna
( The Will to Meaning )
Menurut
Frankl, motivasi hidup manusia yang utama adalah mencari makna. Ini berbeda
denga psikoanalisa yang memandang manusia adalah pencari kesenangan atau juga
pandangan psikologi individual bahwa manusia adalah pencari kekuasaan. Menurut
logoterapi ( Koeswara, 1992 ) bahwa kesenangan adalah efek dari pemenuhan
makna, sedangkan kekuasaan merupakan prasyarat bagi pemenuhan makna itu.
Mengenal makna itu sendiri menurut Frankl bersifat menarik ( to pull ) dan menawari ( to offer ) bukannya mendorong ( to push ). Karena sifatnya menarik itu
maka individu termotivasi untuk memenuhinya agar ia menjadi individu yang
bermakna dengan berbagai kegiatan yang
sarat dengan makna.
c.
Makna Hidup ( The Meaning Of
Life )
Makna
hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai khusus
bagi seseorang ( Bastaman, 1996 ). Untuk tujuan praktis makna hidup dianggap
identik dengan tujuan hidup. Makna hidup bisa
berbeda antara manusia satu
dengan yang lainya dan berbeda setiap hari, bahkan setiap jam. Karena itu, yang
penting bukan makna hidup secara umum, melainkan makna khusus dari hidup
seseorang pada suatu saat tertentu. Setiap manusia memiliki pekerjaan dan misi
untuk menyelesaikan tugas khusus. Dalam kaitan dengan tugas tersebut dia tidak
bisa digantikan dan hidupnya tidak bisa diulang. Karena itu, manusia memiliki
tugas yang unik dan kesempatan unik untuk menyelesaikan tugasnya ( Frankl,
2004).
Dalam
hal ini, logoterapi ada tiga cara, yaitu:
1)
Dengan memberi kepada dunia lewat suatu ciptaan / karya.
2)
Dengan mengambil sesuatu dari dunia melalui pengalaman
3)
Dengan sikap yang diambil manusia dalam menyikapi penderitaan
BAB
III
KESIMPULAN
Aliran humanistik dalam memahami perilaku abnormal
berfokus pada pengalaman yang disadari. Para tokoh humanistik membawa
konsep-konsep berupa pilihan bebas, kebaikan yang sifatnya bawaan mereka dalam
diri, dan tanggungjawab. Saat memahami perilaku abnormal, dalam pandangan
humanistik perlu untuk memahami penghambat yang dihadapi orang dalam mencapai self-actualization. Untuk mencapai hal
ini terapi yang dilakukan adalah dengan memandang dunia dari perspektif klien
karena pandangan subjektif klien.
DAFTAR
PUSTAKA
Alwisol.2008. Psikologi
Kepribadian. Jakarta: UI Press
Feist,
J.G.2008.Theories Of Personality.Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
Halgin, Richard P. 2010. Psikologi Abnormal. Jakarta: Salemba Humanika.
Kartini Kartono. 2000. Psikologi Abnormal. Bandung: Mandar Maju
Nelson Richard-Jones. 2011. Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Nevid, Jeffrey S. 2003. Psikologi Abnormal Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi
Agama: Sebuah Pengantar. Bandung:
Mizan.